Quo Vadis Calon Pengajar Bahasa Indonesia?



“Kamu masuk prodi ini karena apa?”

Tanya seorang dosen kepada mahasiswa suatu hari. Sebagian besar dari mereka tampak malu-malu karena program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia bukanlah pilihan utama mereka. Ketika satu diantara mereka memilih program studi ini sebagai pilihan utama, alasannya pun karena pada saat duduk di bangku sekolah formal, Bahasa Indonesia adalah pelajaran yang paling mudah. Mahasiswa yang memilih program studi ini dengan pemikiran yang idealis akhirnya canggung untuk mengungkapkan alasannya.

Mahasiswa idealis tersebut cukup tergelitik dengan ungkapan kawan-kawannya, tentu saja. Ia mulai berpikir, apakah kawan-kawannya sampai lulus nanti akan berpikir hal yang sama atau tidak. Jika pemikiran kawan-kawannya terus seperti demikian, tentu kelak setelah lulus dari sarjana orientasinya hanya bekerja dan mengajar agar berpenghasilan saja. Mereka yang menjadi guru tidak akan pernah mengkritisi bagaimana kurikulum Bahasa Indonesia di sekolah formal tidak begitu variatif seperti yang mereka kenal di dunia perkuliahan. Alih-alih demikian, ketika mereka menjadi guru mungkin hanya ingin peserta didiknya mendapat nilai yang tinggi di Ujian Nasional Bahasa Indonesia.

Satu diantara faktor yang melahirkan mahasiswa cenderung lebih memilih jalan pintas adalah karena mereka terlalu sibuk belajar untuk Ujian Nasional dan persiapan masuk perguruan tinggi sehingga melupakan satu hal, yaitu mencari jurusan yang tepat untuk mereka. Di akhir masa sekolah, siswa cenderung diberi pilihan dilematis antara perguruan tinggi umum atau kedinasan yang orientasinya selalu pekerjaan menjanjikan di masa depan. Bahkan ada pula yang bingung kemana arah ia akan pergi, melanjutkan ke bangku perkuliahan atau bekerja saja. Padahal pilihan jurusan atau program studi selama perkuliahan jauh lebih variatif dibanding jurusan di SMA, SMK, dan MA serta lebih spesifik pendalamannya. Jika seorang siswa aktif mencari informasi atau pengajar aktif memberikan informasi mengenai ketertarikan siswanya pada jurusan di bangku perkuliahan, maka memilih pendidikan selanjutnya di perguruan tinggi adalah hal yang menyenangkan. Namun hanya sedikit orang saja yang bisa mengecap hal tersebut. Sebagian besar mereka menjadikan pilihan jurusan sebagai hal yang dilematis. Akibatnya, mereka hanya memilih jurusan sesuai dengan kesempatan kerja saja tanpa mengetahui apakah jurusan tersebut cocok atau tidak dengan mereka.

Ketika mereka menjadi mahasiswa dan akhirnya masuk ke dalam program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, mereka terkejut karena program studi yang dijalani tidak sesuai dengan ekspektasi mereka atas apa yang mereka pelajari di bangku sekolah, terutama mereka yang sedikit membaca. Mereka terus bertanya-tanya, apa itu linguistik, apa itu pengajaran, hingga bertanya apa itu sastra. Mereka merasa bising dengan ungkapan bahwa harus banyak membaca dan harus dihadapkan dengan buku. Apalagi ketika mengerjakan tugas harus menggunakan banyak literatur. Hingga akhirnya, mereka hanya melakukan segala hal atas kewajiban saja, seperti tugas, ujian, dan sebagainya.

Perilaku demikian berdampak besar ketika mahasiswa tersebut nantinya menjadi pengajar Bahasa Indonesia. Karena seorang guru dituntut untuk profesional dan menguasai disiplin ilmu yang membesarkan namanya hingga menjadi seorang sarjana. Dalam pengajaran, guru Bahasa Indonesia perlu menguasai keempat aspek kebahasaan, mulai dari menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Ketika menjadi guru, mahasiswa perlu mengetahui bahwa kelak merekalah yang akan membuka sebuah diskusi, mengajarkan bagaimana caranya menulis, hingga memperkenalkan bacaan berupa karya sastra. Mulai saat ini, mahasiswa perlu mengenali hal tersebut tanpa menjadikannya beban hanya karena kesibukan di bangku perkuliahan. Karena belajar bahasa dan sastra itu begitu menyenangkan sekaligus membuka mata kita mengenai berbagai isu mengenai kebahasaan, sastra, hingga budaya.

Tugas terbesar calon pengajar Bahasa Indonesia adalah menumbuhkan kecintaan peserta didik terhadap bahasanya lewat diskusi, menulis, dan membaca. Menumbuhkan kecintaan terhadap literasi tidak hanya membuat mereka mencintai bahasa saja, mereka akan lebih berdamai terhadap berbagai pelajaran yang mereka pelajari di sekolah karena mereka akan terus mencari tahu hal baru lewat membaca. Pengajar Bahasa Indonesia juga menggiring peserta didik keluar dari zona nyaman mereka terhadap sosial media yang selalu membuat mereka terdistraksi untuk melakukan hal yang tidak begitu penting. Peserta didik pun akan mulai menanam pemikiran bahwa literasi begitu penting selama mereka duduk di bangku sekolah hingga kelak ketika berhadapan dengan hidup yang lebih nyata. Bahkan bisa jadi, ketertarikan mereka akan literasi membuat mereka bergerak membudayakan literasi itu sendiri.

Betapa besar dampak perubahan yang diteruskan para peserta didik yang merupakan satu diantara penerus bangsa atas apa yang sudah diberikan seorang guru kepadanya. Untuk menjadi sosok guru Bahasa Indonesia demikian, kita harus mulai menumbuhkan kecintaan kita terhadap program studi dan apa saja yang dipelajari di dalamnya. Tak masalah jika kita cenderung mencintai satu diantaranya. Karena keprofesionalan seorang guru akan terus bertumbuh seiring ia mencintai apa yang dia pelajari. Menuntut ilmu itu bukan sekadar beban, menuntut ilmu harus terus dijadikan kebutuhan dan tempat untuk membuka wawasan. Di luar sana, generasi muda menunggu sosok guru-guru yang senantiasa membantu peserta didiknya untuk terus bertumbuh.

Untuk terus bertumbuh agar menjadi guru yang profesional, mulai saat ini jadilah mahasiswa yang idealis itu. Carilah perubahan yang ingin kita buat ketika menjadi guru kelak. Seorang filsuf bernama Socrates mempunyai kutipan yang membuat kita senantiasa untuk bertumbuh, “Tiada yang lebih abadi daripada perubahan”.

Comments

Popular posts from this blog

Contoh Balasan Surat Pribadi

[Review Produk] Cuka Apel Tahesta, Produk Lokal Murah Menghilangkan Jerawat

Sahabat Pena