Bedah Buku Kamis

Kamis kemarin hari saya berjalan dengan begitu produktif. Setelah kuliah pada pagi harinya, siangnya jemari saya terdistraksi dengan ponsel. Distraksi tersebut membawa saya kepada poster dua acara bedah buku yang diadakan pada Kamis sore dan Kamis malam. Pembedah buku di sore hari kebetulan seseorang yang saya kagumi dan kami sempat bertemu dalam sebuah pelatihan enam tahun silam. Ia menyebut dirinya Yeni Mada. Pembawa berita mengenai bedah buku sendiri merupakan sosok idola juga, terutama di kalangan mahasiswa karena prestasinya dan tulisannya yang apik. Beliau bernama Indra Dwi Prasetyo. Tentunya berita ini harus saya teruskan kepada satu kawan saya yang selalu tertarik dalam diskusi seperti ini. Kuperkenalkan Mar’atushsholihah.


Kamis sore itu diisi dengan mendengarkan Kak Yeni membedah buku “Untuk Republik; Kisah-kisah Teladan Kesederhanaan Tokoh Bangsa” karya Faisal Basri dan Haris Munandar. Pemantiknya tidak hanya dari Kak Yeni, namun juga Bung Edwin. Kami disuguhkan buah-buahan lokal untuk dinikmati sembari berdiskusi, seperti pisang, rambutan, jambu air, hingga manggis.  Bedah buku dibuka dengan pertanyaan, apakah kami mengenal tokoh-tokoh yang disebutkan Kak Yeni? Saya sendiri menyadari bahwa nama-nama tersebut begitu asing di telinga saya. Namun mereka memiliki peran besar dalam pembangunan dan pergerakan Indonesia.

Seperti judul yang tertera pada bukunya, beberapa tokoh-tokoh yang dibahas selalu disoroti kemelaratan hidupnya. Berulang kali kata atau konotasi semacam “kere” disebutkan dalam beberapa pertanyaan yang berbunyi seperti, “Inggit rela kere demi Indonesia,” “Sampai akhir hayatnya, Hatta tidak mampu membeli sepatu Belli yang ia inginkan,” “Hoegeng ditawari keluarganya untuk memberi surat kepada gubernur agar listriknya lancar, namun ia lebih memilih menggunakan pelita saja,” dan sebagainya. Bahkan, saya mendapat pengetahuan baru dari diskusi dalam bedah buku tersebut. Betapa setianya Inggit mendampingi Soekarno demi Indonesia, betapa cerdasnya guyonan Agus Salim, hingga betapa alimnya seorang Hatta.


Dari sisi Bung Edwin memantik diskusi dengan menanggapi sekaligus mengklarifikasi beberapa hal yang berkaitan dengan sejarah tersebut. Hal yang paling menarik adalah fakta bahwa informasi tentang pemimpin negara pertama Indonesia didapatkan dari para ajudannya, ada pula dari keluarganya. Dalam hal ini sangat penting untuk kita sebagai cendekiawan melakukan riset sesuai dengan disiplin ilmu yang kita kuasai. Karena segala sesuatu akan menjadi abadi apabila tertulis di atas kertas dan semakin abadi dalam memori ketika kelak dibaca oleh siapa saja.


Namun dibalik kesederhanaan saat memperjuangkan kemerdekaan, para tokoh pergerakan sendiri mendapatkan pendidikan lewat privilege dalam diri mereka yang akhirnya membuat mereka mampu menggerakkan rakyat lainnya hingga memerdekakan Indonesia. Karena tokoh-tokoh tersebut berasal dari keluarga yang memiliki latar belakang keluarga bangsawan atau priyayi saat itu. Hal tersebut diungkap Bung Indra. Ada hal menarik yang diungkapkan Bung Indra ketika menanggapi hal ini, yaitu segala sesuatu perlu dikritisi agar kita tidak selalu mengangguk menyetujui. Bagi saya, hal tersebut tentunya di luar zona nyaman saya yang masih dalam tahap mengenal dan belajar tentang sejarah. Tetapi saya akhirnya menemukan kacamata lainnya dalam menanggapi sejarah.

Pernyataan Bung Edwin mengenai riset pun ditanggapi Bung Yusri, seorang dari Balai Pelestarian Nilai Budaya Kalimantan Barat. Bahwa memang banyak sekali tokoh perjuangan atau tokoh masyarakat yang berperan banyak untuk negeri namun tidak begitu dikenal bahkan ada pula yang tidak diakui, seperti Inggit, istri terkasih Soekarno. Bung Yusri mengkaitkan dengan keberadaan pahlawan lokal di Kalimantan Barat yang ketika ia sebutkan nama-namanya terdengar begitu asing di telinga kami. Peserta bedah buku lainnya juga menanggapi beberapa hal berkaitan dengan konspirasi sejarah dan beberapa kebenaran yang tidak diungkap dalam kurikulum. Sehingga pada akhir diskusi bedah buku, saya akhirnya menyimpulkan bahwa negeri ini membutuhkan perubahan dalam kurikulum, terutama dalam kurikulum sejarah. Saya mengungkapkan relevansi tersebut dengan calon pengajar sejarah di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tanjungpura. Hanya mereka yang banyak membaca yang tahu mengenai sejarah yang benar, sedangkan sebagian lainnya termakan doktrin dan propaganda lama yang masih melekat dalam pendidikan sejarah. Jika hal seperti ini terus terjadi, maka akan terus menyesatkan generasi selanjutnya dalam kebingungan yang berkepanjangan.

Dalam akhir pengungkapan saya, Bung Yusri melontarkan sebuah kutipan dari seorang filsuf, Socrates. 
 “Tidak ada yang lebih abadi daripada perubahan.”
Suasana diskusi ketika hari sudah gelap.

Diskusi dan bedah buku yang cukup eksklusif ini menambah pengalaman menarik untuk diri saya secara pribadi. Akhirnya saya mengenal beberapa orang cerdas nan bernas yang turut menjadi peserta dalam pertemuan Kamis sore itu dan menjadi lebih dekat dan akrab dengan mereka. Kak Yeni sendiri cukup antusias ketika kembali menemui saya yang sudah mahasiswa. Kegiatan yang diisi para cendekiawan yang diadakan di bawah gazebo Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ini berisi orang-orang yang mencintai sejarah dan tidak menyukai politik. Namun yang terpenting dari semuanya adalah tidak narsis, begitu kata Kak Yeni. Kegiatan ini sendiri pun hanya dipublikasikan lewat grup WhatsApp. Hari ini, saya cukup beruntung dan merasa distraksi saya terhadap ponsel cukup berguna pada hari Kamis. Saya yang mulanya hanya ingin mendatangi bedah buku pada Kamis sore saja akhirnya tergerak mengikuti bedah buku selanjutnya pada malam hari karena ajakan mereka.

Namun, bedah buku Kamis malam berbeda penyelenggara dan atmosfernya. Bukan karena diadakan di ruang eksklusif sebuah kedai kopi, namun saya menyadari publikasi pada saat diselenggarakannya acara membuat suasana lebih inklusif. Setelah mengenal makna narsis dalam beberapa hal, sesekali benak saya tergelitik mengenai pertemuan di Kamis malam itu.  Peserta bedah buku saat itu lebih beragam. Peserta yang hadir dari bedah buku Kamis Sore hanya tujuh orang, termasuk saya. Buku yang akan dibedah adalah buku “Max Havelaar” karya Multatuli, nama samaran orang Belanda yang melawan kolonialisme.

Nama panggilan pembedah buku adalah Bung Qodja. Beliau membahas tentang sejarah kolonialisme pada saat itu sesuai dengan apa yang diterangkan dalam buku tersebut. “Max Havelaar” sendiri merupakan sebuah karya sastra yang cukup dikagumi Pramoedya dan merupakan awal mula dari sejarah sastra, bahkan lama sebelum Balai Pustaka. Sebenarnya, hal ini cukup menyimpang dari yang saya ketahui dari sejarah sastra. Mungkin yang lebih tepat dalam menanggapi hal ini adalah “Max Havelaar” merupakan karya sastra yang mempengaruhi karya-karya sastra para sastrawan di Indonesia, sama kedudukannya dengan karya sastra luar seperti karya-karya Shakespare dan sastrawan dunia lainnya.



Sebenarnya arah pembicaraan dan diskusi dalam bedah buku Kamis malam cukup kemana-mana. Barulah saya menyadari bahwa arah pembicaraan memang tentang kolonialisme era baru. Bung Qodja menceritakan keresahan tentang penjarahan di sebuah desa yang bernasib sama dengan kebanyakan tempat di Kalimantan Barat, yaitu tanahnya digunakan untuk pertambangan bauksit dan ditinggalkan ketika kebutuhan penduduk desa atas hutannya telah habis. Beliau pun menyimpulkan cerita tersebut dengan ungkapan bahwa begitu penting untuk kita melawan orang-orang yang mempunyai kedudukan di atas. Saya merasa pembahasan cukup berat sebelah esensinya. Karena dalam karya sastra, kita dituntut untuk lebih sadar dan berefleksi meskipun satu diantara solusi tersebut adalah melawan.

Yang membuat saya tergelitik akan hal ini adalah karena pembedah seolah lebih mementingkan hubungan vertikal (kalangan bawah dan atas) dan begitu meromantisasikan hubungan horizontal (sesama kelompok setara) sehingga terdengar begitu sepele. Saya sedikit berdiskusi kepada Kak Yeni tentang hal ini karena berkaitan dengan esensi karya sastra. Setelah Kak Yeni menanggapi, saya cukup lega karena beliau sudah membaca “Max Havelaar” dan mengungkapkan bahwa yang lebih penting dari kolonialisme yang dibahas di dalam buku tersebut adalah menjadi manusia. Kita tidak perlu menyepelekan hubungan kita bersama orang-orang yang setara dengan kita. Karena apabila kita berbuat demikian, justru perlawanan kita hanya sekadar kemarahan belaka. Beliau mengungkapkan bahwa kita harus menyadari bahwa saat ini kita hidup sebagai manusia yang menindas dan ditindas. Ungkapan Kak Yeni ditutup dengan mengangkat gelas Long Black­-nya sembari berkata, “Hari ini, kita duduk menikmati kopi yang menjadi komoditas utama dalam tanam paksa.”

Substansi yang ditanggapi dari perkataan Kak Yeni justru tentang manusia ditindas dan menindas serta kopi. Seorang peserta tidak menyetujui istilah “manusia ditindas dan menindas” yang dipopulerkan Kak Yeni malam itu sembari menyebutkan beberapa aksinya dalam memperjuangkan orang-orang tertindas. Ia justru menyalahkan “mahasiswa” yang tidak begitu banyak aksi masyarakat. Tentu peserta mahasiswa yang sebagian besar mengisi ruangan, termasuk saya sendiri, terkejut mendengarnya. Namun di beberapa ungkapannya, ia secara tak sadar mengungkapkan beberapa hal yang justru menindas orang lain, baik perbuatan maupun verbanya. Begitu juga soal kopi, Bung Qodja selaku pemilik kedai kopi mulai tergelitik dan menanggapi bahwa saat ini kopi yang ia gunakan adalah hasil dari petani yang ia beli dengan harga yang layak. Padahal, maksud Kak Yeni disini adalah saat ini kopi terus berkembang berkat ditanam dan dikenal bangsa Indonesia ketika masa tanam paksa oleh para kolonial. Tanggapan ini seolah orang-orang tak mau dianggap sebagai penindas dan hanya mau dilihat sebagai yang ditindas dan hanya ingin dipandang baik saja. Hingga tanpa sadar, mereka melupakan esensi yang diungkapkan dan substansi yang dimaksud.

Namun, saya cukup lega ketika saya ingatkan kembali mengenai esensi karya sastra dan pembedah akhirnya teringat dan menyadari bahwa karya sastra lebih kaya dari sekadar hubungan vertikal horizontal. Karya sastra itu bagai roh baik yang seharusnya selalu merasuki jiwa manusia yang hilang kemanusiaan dalam dirinya. Substansi yang dibawakan akhirnya tersampaikan. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa bedah buku Kamis malam itu memang hendak menyajikan kolonialisme era baru dan perlu dilawan.

Saya menemukan satu hal yang cukup menarik, terutama tentang sikap kita yang terkadang tak ingin berdamai ketika disebutkan keburukannya. Saya jadi teringat dengan bagaimana negeri ini pun hanya mengungkapkan sejarah perjuangan yang heroik saja dan kehidupan pahlawan yang tersiksa. Negeri ini sama seperti manusia di dalamnya, menutup dalam-dalam liang keburukannya dan rakyatnya cukup melihat yang baik dan heroik saja. Itulah sebabnya, sebagian besar manusia Indonesia tutup telinga dengan kasus pelanggaran hak asasi manusia yang menimpa manusia lainnya, seperti genosida pasca G30S, penculikan menjelang reformasi, hingga banyak kasus lainnya. Ingatan ini membuat saya refleksi atas simpulan yang saya ungkapkan dalam bedah buku Kamis sore, bahwa kita begitu terdoktrin dengan kurikulum yang diatur para petinggi negara agar aib selalu tertutupi.

Kegiatan bedah buku dengan suasana dan atmosfer yang kontras pada hari Kamis cukup membuat saya belajar mengenai bagaimana sejarah dipermainkan akibat doktrin secara tidak langsung. Hal tersebut yang saya lihat sebagai dampaknya. Tugas saya sebagai calon pengajar cukup berat, ternyata. Namun yang dapat saya lakukan adalah mencerdaskan generasi baru negeri ini dan perlahan menjadi agen perubahan agar dapat memperjuangkan kurikulum sekolah. Mungkin nanti, saya akan memperkenalkan lebih banyak karya sastra kepada generasi baru untuk memanusiakan dirinya. Mungkin, hal tersebut menjadi awal mengubah pemikiran generasi muda untuk lebih progresif.[]

Comments

Popular posts from this blog

Contoh Balasan Surat Pribadi

[Review Produk] Cuka Apel Tahesta, Produk Lokal Murah Menghilangkan Jerawat

Sahabat Pena