Tentang Pendidikan di Perbatasan



Pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Pendidikan tentunya menjadi tonggak ukur bagaimana seseorang dibentuk. Pendidikan adalah soal bagaimana cara manusia memanusiakan manusia lainnya.

Banyak dari kita belum mengetahui bahwa sistem pendidikan di Indonesia rupanya tidak benar-benar sebanding—meskipun kurikulum yang digunakan sama. Di daerah pedalaman yang sangat dekat dengan perbatasan—kebetulan berdasarkan observasi saya ketika PPM (Pengabdian Pada Masyarakat) tanggal 27 yang lalu—rupanya tidak ada sistem rangking, terutama di bangku Sekolah Dasar. Pada saat itu pula saya menemukan banyak sekali hal-hal yang tidak didapatkan dalam sistem pendidikan di sana dan betapa sulitnya mengikuti sistem pendidikan pusat. Di daerah pedalaman dibutuhkan waktu untuk siswa beradaptasi dengan bahasa Indonesia karena mereka sudah terbiasa dengan bahasa daerah, kemudian barulah mereka belajar membaca di sekolah. Awalnya saya cukup terkejut mendengar anak yang duduk di bangku kelas 3 SD masih mengeja. Namun perlahan saya mulai memahami faktor yang mempengaruhi mereka.

Ketika saya mengetahui umur anak-anak bisa membaca di daerah tersebut, saya cukup mengkhawatirkan tingkat literasi mereka. Akses mereka untuk ke kota membeli buku begitu sulit. Perpustakaan yang disediakan pun hanya perpustakaan di sekolah yang letaknya pun berada di dalam kantor guru. Belum lagi saya mengetahui fakta dari Sekretaris Daerah Desa Raut Muara, Kecamatan Sekayam, Kabupaten Sanggau bahwa rata-rata tenaga guru PNS di sekolah-sekolah di desa mereka hanya dua orang. Yang lainnya adalah tenaga honorer. Artinya, pemerintah pusat belum benar-benar maksimal dalam menentukan kuota CPNS untuk tenaga guru, karena masih banyak daerah terpencil yang memerlukan kuantitas guru di daerah mereka.

Akhirnya, anak-anak di pedalaman lebih di tekan lagi bagaimana caranya mereka bisa mengejar pendidikan yang juga diterima oleh anak-anak di perkotaan karena notabenenya—baik desa maupun kota—dirancang dalam kurikulum yang sama. Perbedaan lingkungan dan cara belajar antara desa dan kota pun secara tidak langsung menjadi tekanan bagi pelajar di desa.

Maka, apakah tujuan sebenarnya dari pendidikan itu?

Pendidikan sejatinya adalah menjadikan para pelajar menjadi generasi berintelektual. Tidak hanya cerdas dalam nilai, namun juga cerdas dalam teori. Kita yang sudah terbiasa dengan pendidikan di perkotaan, dengan fasilitas yang mudah di capai, secara tidak langsung kita diberi tanggung jawab untuk memberdayakan mereka.

Di bangku perkuliahan ini saya juga menemukan banyak sekali teman-teman yang tertinggal ilmunya, terutama dalam hal teknologi, karena sukarnya akses di sana. Secara tidak langsung, kita yang lebih mengetahui pun bertanggungjawab dalam mencerdaskan sesama generasi Indonesia.

#KataHatiChallenge #KataHatiProduction 5

Comments

Popular posts from this blog

Contoh Balasan Surat Pribadi

[Review Produk] Cuka Apel Tahesta, Produk Lokal Murah Menghilangkan Jerawat

Sahabat Pena