Kata Mama
Ya Allah, jadikanlah anak-anakku
menjadi anak yang soleh dan solehah. Panjangkanlah umur hamba agar hamba bisa
melihat anak-anak hamba menjadi orang.
Sebuah
doa tertulis dalam draf pesan singkat ponsel mama. Aku tak sengaja menemukan
pesan tersebut saat aku tengah memainkan permainan di ponsel mama. Sepi sendiri
di kamar seolah mendorong perasaanku menjadi lebih lembut dalam menanggapi doa
tersebut. Tangisku pecah. Anganku mulai membayangkan betapa letihnya mama
bersama ayah mencari nafkah demi menghidupi kami.
***
Mama
tengah melipat pakaian. Aku hanya memperhatikan mama. Kemudian terlintas sebuah
pertanyaan dalam kepalaku, lalu terucap oleh bibirku. “Ma, kenapa kita tidak
tinggal di Jawa? Selalu ada acara besar di sana. Mau ke provinsi lain pun
tinggal naik kereta. Banyak tempat wisatanya, lagi.”
“Kok
begitu ngomongnya?”
“Teman-teman
Dhila enak, Ma, kalau mau ketemuan, mereka tinggal naik kereta,” gerutuku. Keresahan
tersebut muncul setelah aku mulai memiliki banyak teman dari luar daerah
Kalimantan. Keresahan yang muncul sebelum aku menginjak bangku sekolah
menengah.
Mama
menghela nafas. Beliau mencoba untuk menjawab dengan tenang. Kata mama, “Kita
harus bersyukur dilahirkan di tanah Kalimantan ini. Kalau kata pepatah, di mana bumi dipijak, di situ langit
dijunjung. Allah udah ciptakan kita di tanah yang jarang terkena bencana. Kalau
pun kamu mau maju seperti di Jawa, sekolah tinggi-tinggi. Bangun tanah ini.”
Saat
itu aku merasa jawaban mama sangat klise. Namun seiring berjalannya waktu—terutama
untuk saat ini—sebuah pepatah yang pernah mama ingatkan padaku menjadi
peganganku. Tidak hanya tentang bagaimana caraku berperilaku di tanah orang,
namun juga tentang bagaimana caraku menempatkan diri dalam suatu lingkungan.
Lingkungan baru itu kemudian memiliki samaran bumi, dan aturan-aturan—baik tertulis
maupun tidak—dalam lingkungan tersebut memiliki samaran langit.
Dalam
perjalanan hidupku sebelum berkepala dua tahun depan, saat ini adalah kali
keduaku merasakan bagaimana jauh dari orang tua. Kali pertamanya, aku merasa
gagal dengan segala yang aku lakukan sehingga aku membutuhkan pelukan untuk
kembali. Sebelum pergi dan tinggal jauh untuk kedua kalinya, telah banyak rasa
baru tercipta.
Sepanjang
tahun aku menyulam mimpi dengan jarum dan benang terbaik. Namun, sulaman itu
tak sengaja rusak. Hingga aku perlu memperbaikinya dengan mimpi yang tak lagi
sama. Aku telah lama belajar
materi-materi sains. Mempelajarinya justru membuatku jatuh cinta dan bermimpi
ingin terus berhubungan dengannya. Ternyata Allah memberikanku jalan dari
pilihan yang telah kupilih. Aku sempat jatuh dan tidak mampu menerima apa yang
telah digariskan untukku. Mama berperan banyak dalam menjadi mendukungku.
Katanya,
“Jadi guru itu mulia. Kalau niatnya ibadah, insya Allah jadi terus mengalir
berkahnya.”
Jujur
saja, aku sedih mama berkata demikian. Cita-cita yang selama ini aku perjuangkan
tentu demi kami. Aku ingin mengubah perekonomian kami.
Dalam
menjalani kali kedua merantau, aku niatkan segala sesuatu yang aku kerjakan tak
lain hanya karena Allah. Namun saat ini aku mulai realistis. Aku tidak berjalan
di sebelah kiri yang gelap. Aku tak pula meraih kesempurnaan hati yang
menerangi sepanjang jalan kanan. Kini, aku merasa diriku kelabu. Dunia menuntutku
realistis, namun hatiku membutuhkan jalan yang lurus. Benar, aku kini dalam kelabu
dunia dan kalbu.
Selama
satu semester kuliah, aku menempatkan diriku sebagai orang yang membutuhkan dan
dibutuhkan dalam sebuah himpunan mahasiswa program studiku. Tidak, aku tidak
menggunakan topeng. Aku berlaku sesuai dengan apa yang perlu aku lakukan. Dalam
menjalani kuliah, lingkungan baruku merupakan samaran dari bumi dengan penataan
yang bersamar langit.
Allah
seolah memberikan banyak pelajaran dalam rantauku. Aku sempat berselisih paham
dengan mama mengenai perekonomian kami. Namun aku mulai menyadari bahwa
memanajemen keuangan merupakan hal yang sangat berat. Begitulah yang aku
rasakan saat tinggal sendirian di tanah orang. Buminya senantiasa kupijak,
senantiasa kubutuhkan. Langitnya selalu memandangku, iba menengok diriku yang
terkadang lupa dengan apa yang telah diberikan.
Di
balik semua kesulitan yang aku alami, kasih ibu, kasih mama, seolah hadir
dengan caranya sendiri. Sebuah pengalaman mengajar di dekat perbatasan
baru-baru ini mengajariku banyak arti. Pepatah di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung seolah memperteguh
pendirianku dalam menerima jalan sebagai seorang calon pendidik. Suasana haru
biru menyelimutiku ketika mengetahui bahwa mereka—anak-anak desa pedalaman—begitu
membutuhkan kami. Mulanya aku sangat tidak menginginkan menjadi seorang
pendidik karena kepribadianku yang aku rasa tidak cocok saat mengajar. Namun aku
merasa sangat dihargai ketika berbicara di hadapan mereka, mengajar mereka, dan
berbagi pengalaman dengan mereka. Seolah perkataan mama tentang seorang guru
semakin meyakinkanku bahwa profesi bukan tentang uang, namun juga tentang
pengabdian.
Kasih
sayang ibu tak terbantahkan waktu. Semangatnya selalu menjadi penopang dalam
jatuh. Memeluk dalam dinginnya dunia.
Mama
memang jarang menopang semangatku dengan kata-katanya. Kata-kata mama yang aku
selipkan dalam cerita ini merupakan kata-kata yang mendorongku untuk lebih
semangat dalam menjalani hidup sebagai diriku saat ini. Hari ulang tahunku
ke-19 seolah menjadi Hari Ibu, karena aku selebrasikan dengan cara pulang ke
rumah.
Terima kasih Jasmine Elektrik telah menyediakan wadah untukku bercerita tentang mama.
Comments
Post a Comment