Marxisme dan Sastra


sumber: brainpickings.org


Secara umum, hubungan antara sastra dan Marxisme digambarkan dengan contoh penolakan sastra yang tidak didasari dengan nilai-nilai komunisme pada negara-negara berideologi komunis. Penerapan tersebut justru tidak menganggap rendah sastra, karena negara-negara tersebut menganggap bahwa sastra dan pengarang mempunyai peran yang sangat penting, terutama dalam hal strategi komunis. Sastra sangat dekat dengan manusia secara spiritual, dalam hal ini komunisme sangat mengagungkan manusia sehingga manusia tidak boleh keliru dalam membuat suatu karya sastra.

Negara berideologi komunis, Rusia, dalam beberapa dekade terakhir telah melakukan perburuan terhadap pengarang, sebut saja Solzhenitsyn yang harus keluar dari negaranya hingga Boris Pasternak yang harus menolak Nobel penghargaannya karena tekanan dari pemerintah. Mengalami tekanan dari pemerintah karena perbedaan pandangan ideologi dan politik seorang pengarang dengan negaranya tak hanya terjadi di negara komunis seperti Rusia saja. Penyair Ezra Pound dari Amerika yang dianggap memiliki paham fasisme hingga penyair Inggris, George Byron yang tak suka dengan sikap politik pemerintah meninggalkan tanah airnya.

Sapardi Djoko Damono (1978) dalam Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar lebih menyorot pada perkembangan marxisme dan sastra serta hubungan antara marxisme dan sastra. Paham marxisme erat kaitannya dengan perkembangan manusia dan masyarakat sehingga paham tersebut dapat memperluas ranah kritik sosiologi sastra yang cenderung sempit dan dogmatis.

sumber: en.wikipedia.org

Dua pemuda tokoh revolusioner Jerman, Karl Marx dan Frederick Engels menerbitkan sebuah dokumen yang dikenal sebagai Manifesto Komunis pada tahun 1848. Dokumen tersebut merupakan ringkasan dari paham materialisme sebelumnya. Dalam Manifesto Komunis, Marx dan Engels menjelaskan bahwa sejarah sosial manusia adalah sejarah perjuangan kelas. Perjuangan kelas tampak pada sejarah yang selalu memiliki pola jenjang perkembangan zaman kuno, yakni feodalisme dan kapitalisme. Selanjutnya, terdapat pandangan sosialisme yang menunjukkan bahwa setiap jenjang dikenal dari ciri khas cara produksi dan struktur sosial.

Dua pikiran pokok dalam tulisan Marx dan Engels adalah pengaruh sosial ideologi dan pembagian kerja. Dalam pengaruh sosial ideologi dipaparkan bahwa pikiran lahir dari keadaan sosial pengarang, tepatnya perspektif yang berkaitan dengan posisi kelas pengarang. Sedangkan pembagian kerja berkaitan dengan pergeseran taraf produksi material ke taraf produksi mental yang dialami orang atau kelompok orang dalam perkembangan industri dan perdagangan.

sumber: puntocritico.com

Dalam hubungannya marxisme dan sastra, Engels sangat berperan dalam pendekatan ini. Baginya, sastra, seni dan filsafat lebih kaya, lebih bebas, dan samar-samar (dalam hal ini hubungannya dengan masyarakat) bila dibandingkan dengan politik dan ekonomi. Sehingga kualitas sastra dalam pandangan Engels (dalam Sapardi Djoko Damono, 1978: 26) bahwa suatu karya semakin bermutu apabila pandangan penulis semakin tersembunyi. Engels juga menjelaskan hal yang lebih dogmatis bahwa setiap novelis harus mampu menciptakan tokoh-tokoh representatif dalam karyanya ketika hendak mencapai realisme.

Teori Marx dan Engels yang masih berupa isyarat dan pikiran samar-samar kemudian dikembangkan pengikutnya, Georgei Plekhanov. Plekhanov menunjukkan pentingnya materialisme dialektik, bahwa sejarah ditentukan oleh perjuangan kelas dan bentuk-bentuk produksi dan distribusi. Dalam seni dan sastra, Plekhanov menyatakan bahwa manusia menciptakan perasaan dan gagasan dari lingkungannya, dalam hal ini seni dan sastra merupakan akibat dari kerja. Namun Plekhanov tidak puas dengan penafsirannya yang materialistis. Plekhanov juga menyadari bahwa manusia memiliki perasaan estetis sehingga dapat membedakan yang baik dari yang buruk—bahwa manusia memiliki rasa yang tak terikat pada kelas sosial tertentu. Kedua pandangan Plekhanov itu sangat bertolak belakang.

Pertengahan abad kesembilan belas di Eropa, tak hanya lingkungan dengan keadaan politik dan sosial, sastra juga lahir dari novelis yang memiliki kesadaran sosial—terutama dalam perkembangan secara historis. Untuk itu, hubungan sastra dengan proses sosial tidak hanya penting menjadi perhatian kritikus, namun juga novelis dan politikus.

Marxisme kemudian dikembangkan kembali oleh seorang Hungaria, Georg Lukacs. Lukacs menerima pandangan Plekhanov bahwa sastra terikat pada kelas sosial dan tidak mungkin lahir di bawah dominasi borjuis. Hal ini dilatarbelakangi bahwa perjuangan kelas merupakan perjuangan yang dilakukan kaum proletar. Bagi Lukacs, penulis borjuis hanya mampu mencerminkan keruntuhan kelas. Lukacs juga menyerang gerakan modernisme karena baginya, modernisme bersifat subyektif dan introspektif. Bahkan modernisme merupakan wujud pengingkaran kesenian (Lukacs, 1968:219, dalam Damono, 1978:29).

Sejatinya kekuatan dari paham marxisme adalah pengagungan manusia. Namun dalam modernisme justru manusia digambarkan terkucil dari dirinya sendiri dan masyarakat. Lukacs memiliki pandangan bahwa pujangga besar adalah mereka yang mampu menciptakan tipe-tipe manusia yang abadi agar mampu menampilkan esensi terdalam secara historis—pandangan yang masih dipengaruhi Plekhanov tentang bagaimana sastra seharusnya. Pandangan tersebut merupakan wujud dari realisme sebagai buah dari kesadaran penulis terhadap perubahan sosial yang progresif.

Keyakinan Lukacs akan timbulnya realisme baru, realisme sosialis yang mampu mengatasi humanisme borjuis yang lapuk pada sastra dengan menggagas dua pandangan penting penyebab kemunduran realisme yang bersifat subyektif dan obyektif. Yang bersifat obyektif berupa munculnya kelas penguasa (borjuis) yang berhadapan dengan kelas pekerja dan sosialisme, sedangkan yang subyektif adalah pengarang yang tidak melibatkan diri pada masyarakat. Realisme sosialis diyakini menjadi roda penggerak untuk mencapai suatu masyarakat sosialis.

Sastra dengan realisme sosialis dianggap kritikus di negeri nonkomunis sebagai alat propaganda pemerintah dan partai. Wimsatt dan Brooks (1959:470, dalam Damono, 1978, 31) menyatakan bahwa sastra realisme sosialis mengutamakan ekspresi dan komunikasi. Pengarang tak berhak menampilkan hal simbolik yang bersifat pribadi. David Craig (1975:12, dalam Damono, 1978:31) juga mengkritisi novelis realisme kritik bahwa mereka berhasil “menampilkan persoalan”, tetapi belum mampu memberikan solusi. Craig berpendapat bahwa gagasan realisme sosialisme perlu dilaksanakan karena sangat mendesak.

Intinya pengarang realis menciptakan kreativitas yang bersumber pada rakyat. Namun hal ini tidak berarti pengarang hanya mampu menggambarkan kelas bawah saja, di antara novelis realisme sosialisme juga ada yang dapat menggambarkan kelas menengah. Kritikus marxis tidak hanya menyorot pola kerakyatan pada suatu karya sastra, banyak dari mereka belajar dari metode analisis cermat dengan teks sebagai bahan analisis. Mereka menyadari dalam sebuah karya terdapat alasan mengapa bentuknya seperti itu, bukan seperti yang lain. Tetapi nilai estetik satu-satunya tolok ukur, tolok ukur lainnya adalah hubungan kebenaran dan kenyataan pada karya sastra.

Realisme sosial sebagai alat propaganda dan bagaimana sastra seharusnya yang dijelaskan sebelumnya merupakan revisi terhadap pengertian realisme sosialis yang dilakukan oleh kalangan penulis dan pemerintah Republik Rakyat Cina pada tahun 50-an. Pada saat itu, terjadi pemberantasan buta huruf di kalangan petani hingga membudayakan sastra pada rakyat kecil, terutama kalangan pekerja dan petani. Masyarakat kelas bawah didorong untuk membuat karya sastra dan seni—sajak hingga lagu—karena kreativitas kelompok lebih diutamakan daripada kreativitas perseorangan. Pemerintah menggagas bahwa perkembangan sastra yang dihasilkan kelompok atau massa dianggap lebih bagus dibandingkan perseorangan. Dalam perkembangannya, partai di RRC berhasil menciptakan propaganda melalui sastra-sastra yang diciptakan.

Pada ilustrasi Republik Rakyat Cina pada tahun 50-an tersebut, menunjukkan bahwa marxisme tidak hanya melahirkan berbagai corak dalam politik sastra, namun juga melahirkan pandangan yang ekstrim terhadap sastra dan kreativitas (Goldman, 1971: 244-247, dalam Damono, 1978:33). Maka yang terjadi setelahnya adalah romantisme diutamakan dan realisme semakin mundur ke belakang. Dalam romantisme, sastra harus menyemarakkan semangat masa depan dan tidak boleh mempermasalahkan penderitaan dan keputusasaan.

Pada konsep sebelumnya, Engels menjelaskan bahwa sebuah karya yang besar maksud dari pengarang semakin tersembunyi. Hal tersebut bertolak belakang dengan Lenin bahwa sastra harus menyampaikan garis partai sejelas mungkin. Kedua pandangan ini menciptakan dua jalur utama kritik sastra marxis yang dibagi oleh George Steiner (1967:305-324, dalam Damono, 1978:34). Pertama, kritik kaum para-marxis yang berpegang pada diktum Engels dan kedua, kaum ortodoks yang mengikuti garis Lenin.

Kritikus para-marxis cenderung bertolakbelakang dengan pandangan komunisme karena cenderung pada pandangan realisme sosialis yang memandang bahwa  karya sastra yang bermutu merupakan karya sastra yang mengedepankan representasi tokoh sebagai seorang manusia dan menenggelamkan pandangan pengarang agar tampak semakin kabur. Selain itu, pandangan ini juga mengedepankan hal historikal, terutama dalam hal perjuangan kelas. Kritikus dalam jalur para-marxis ini adalah Lucien Goldman, salah satu tokoh pengembangan sosiologi sastra. Sedangkan menurut kritikus ortodoks, sebuah karya sastra harus tampak jelas sejalan dengan partai—dalam hal ini komunisme—dan lebih meromantisasikan sebuah seni dan sastra untuk membangun semangat rakyat yang menjadi penikmat sastra itu sendiri.

Sebelumnya Lukacs hendak menyatukan dua gagasan tersebut—bahwa sejarah manusia adalah perjuangan kelas dan manusia memiliki nilai estetika yang tidak berpacu pada kedudukan kelas. Oleh kritikus ortodoks, Luckas mendapat serangan. Sehingga pada masa Rusia di bawah Stalin, karya sastra harus menjadi alat perjuangan kaum proletar dan karya sastra yang keliru dalam realisme sosialis—dalam pandangan yang direvisi seperti ilustrasi di Republik Rakyat Cina—diganyang di depan umum. Dari sikap tersebut sesuai dengan pandangan Lenin. Lenin menyatakan bahwa tugas kritik hanya sebagai penafsir dogma partai dan pengganyang kaum murtad.

Ulasan mengenai Marxisme dan Sastra pada Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar karya Sapardi Djoko Damono menyorot sejatinya marxisme merupakan sebuah paham yang begitu luas hingga menciptakan dua pandangan besar, yaitu realisme sosialis yang dirintis Engels dan dikembangkan oleh Plekhanov dan Lukacs serta “revisi” realisme sosialis yang dimulai pengarang dan pemerintah Republik Rakyat Cina pada tahun 50-an yang cenderung pada garis komunisme. Dua pandangan besar tersebut juga menjadi dasar dari dua kutub berlawanan dalam kritik sastra, yaitu kritikus para-marxis dan kritikus ortodoks. Penggambaran awal bagaimana penolakan sastra pada ulasan ini merupakan bentuk kritik ortodoks yang sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Lenin.

Warna dalam paham marxisme dalam pengkajian sosiologi sastra tentu akan menambah khazanah sehingga pengkajian sosiologi sastra yang dianggap sempit dapat dipatahkan, meskipun dalam beberapa hal tentu sebuah karya sastra atau sebuah pandangan tentu menyimpan hal dogmatis berdasarkan teori yang telah ada.[]

Rangkuman Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar, Sapardi Djoko Damono, 1978.

Comments

Popular posts from this blog

Contoh Balasan Surat Pribadi

[Review Produk] Cuka Apel Tahesta, Produk Lokal Murah Menghilangkan Jerawat

Sahabat Pena