Growing Up and Self-Acceptance


Saat kamu melihat sebuah potret anak kecil memegang bunga seruni kuning di taman, sejenak kamu ragu bahwa anak kecil itu berusia tiga tahun. Tubuh dan wajahnya lebih mirip penampilan anak-anak yang berlarian dengan seragam putih merah. Namun anak kecil yang tumbuh sangat disenangi orang-orang, bahkan tak sabar untuk tumbuh dewasa. Seperti harapan Sherina pada lagunya yang selalu diputar ibuku saat aku kecil, “Andai aku telah dewasa”.

Hingga pada waktu aku telah menggunakan seragam putih merah itu, aku menemukan banyak cerita. Aku mulai memahami apa artinya teman, aku mengenal banyak permainan. Bahkan, aku mengenal tiga lingkungan bermain dengan dua tempat yang dapat kudatangi dengan menempuh perjalanan menggunakan sepeda. Pada satu waktu, aku memutuskan meninggalkan satu lingkungan karena sepatah kalimat, “Kenapa bermain kesini kalau kau tahu ini bukan tempatmu?”

Aku hanya seorang anak yang mengenakan seragam putih merah setiap pagi. Tubuhku cepat tumbuh. Beberapa kali aku direndahkan karena tubuhku puber terlalu dini. Aku tak memahami apa yang mereka pikirkan, mereka mulai berkata aneh hingga salah satu tangan mereka mulai jahil. Aku direndahkan. Aku hanya anak yang berseragam putih merah tiap pagi.

Menjadi dewasa tidak semenyenangkan itu. Banyak hal yang membuatku ragu untuk tertawa. Aku terlalu mudah untuk marah untuk segala sesuatu yang hadir bukan untukku. Sukar otot wajahku menyunggingkan senyuman. Saat warna seragamku berubah putih biru, aku benar-benar tak suka dengan kelompok-kelompok yang menamakan diri mereka “teman akrab”. Aku merasa jauh. Duniaku hanya di dunia maya, mereka menyenangkan. Aku tak memahami manusia di sekitarku yang hobinya menertawakan orang lain. Apakah aku seburuk itu? Atau mereka yang begitu sempurna? Wajahku kian tak menarik. Beberapa kali aku bertanya pada Tuhan, mengapa aku yang harus dihukum dengan diberi rasa sakit pada seluruh wajahku?

Tuhan tak pernah menjawabnya. Namun Dia justru mempertemukanku dengan masa yang paling indah. Aku menggunakan seragam putih abu-abu di dua sekolah. Mereka menyenangkan. Banyak hal yang mereka katakan agar aku memahami bahwa aku harus mencintai diriku. Mereka mengatakan bahwa aku harus tegas pada hal yang menggangguku. Namun mereka tak mau aku angkuh hanya karena aku harus tegas, mereka mau aku selalu menjadi manusia. Aku belajar dari mereka cara mencintai orang lain, cara menghargai orang lain. Aku benar-benar merasa hidup dari keterpurukan sebelumnya. Aku akhirnya berani menghadapi beberapa risiko dan konflik.

Saat aku sudah pada masa bebas memilih apa yang harus kukenakan, aku mengalami beberapa krisis. Konflik yang harus kuhadapi terlalu penuh. Terlalu banyak hal yang menyulitkan untuk diterima. Aku selalu khawatir dengan penampilanku. Aku selalu khawatir dipanggil “Ibu” oleh orang asing. Aku selalu khawatir dibilang “gendut” dengan orang yang aku sayangi. Segala hal yang membekas selama aku tumbuh begitu mengkhawatirkan saat aku sejatinya telah dewasa dalam usia. Aku terlalu khawatir dengan banyak hal. Kondisi finansial, konflik internal, penampilan lagi. Aku selalu dirundung oleh kekhawatiran. Banyak hal yang membuatku kecewa, tapi apakah aku yang membuatnya?

Aku terkadang menyalahkan bagaimana caraku tumbuh hingga aku sukar tersenyum dan cepat tersinggung. Aku menyalahkan hal yang membuat penampilanku tampak tak pernah menyenangkan orang lain. Bahkan hingga hari ini aku tak memahami mengapa ada saat dimana aku ragu untuk berbicara atau berinteraksi dengan orang lain.

Saat aku mengidap masa krisis, aku banyak menghapus dan memblokir beberapa orang yang aku rasa mereka mengganggu ketenanganku. I don't want my life full of sickness, so I delete all of the toxic people. Di lain kesempatan, aku selalu menyempatkan diri mendengar cerita orang lain. Banyak manusia di luar sana yang memiliki kekhawatiran yang sama denganku. Banyak hal yang aku renungkan, banyak hal yang terjadi selama hidupku. Aku benar-benar hidup bukan untuk orang lain, namun untuk diriku sendiri. Namun, banyak hal yang menuntutku untuk melibatkan orang lain saat aku lupa bahwa aku hidup bersama manusia lainnya di bumi ini. Banyak kesedihan yang harus kusimpan sendiri, tetapi mereka selalu berkata, “You deserve to be happy in your way.”

Sejatinya aku memang harus mencintai dan menerima segala yang terjadi.

Comments

Popular posts from this blog

Contoh Balasan Surat Pribadi

[Review Produk] Cuka Apel Tahesta, Produk Lokal Murah Menghilangkan Jerawat

Sahabat Pena