Sabotase


Kring... kring... kring....

“Halo. Baik, Pak, akan saya sampaikan.”

“Debo, Brigjen Darto mengabarkan ada kasus baru.”

“Baiklah, kita langsung saja ke tempat kejadian perkara.”

***

Langit dengan betahnya membiarkan sekumpulan awan kelabu itu menutupi cerahnya langit biru. Halaman belakang itu menjadi kelam--sekelam wanita paruh baya yang terlihat histeris. Wanita itu ditemani sang suami yang terus menghiburnya.

Di depan mereka, terduduk gadis remaja dengan wajah yang pucat dan dingin di bawah pohon kayu putih. Kedua kaki dan tangannya terikat. Mulutnya dibekap dengan slayer batik. Lehernya terlihat bekas jeratan tambang. Sepasang tangan yang terikat itu menggenggam sebuah bulu burung yang indah. Apa maksud pembunuh gadis ini memberikan petunjuk?

Debo tampak sibuk memikirkan siapa dalang dalam kasus ini. “Dia memiliki saudara?”

“Ada di kamarnya.”

Debo mengajakku untuk masuk ke rumah korban. Hingga tibalah kami di depan pintu kamar saudara korban. Pintu yang terbalut warna biru pastel itu tampak manis dengan sebuah ukiran nama di tengahnya; Mika dan Kinan. Aku mengetuk pintunya dan tidak direspon beberapa saat. Kemudian seorang wanita muda keluar dengan mata sembab. Aku cukup terkejut ketika ia membukakan kami pintu. Siapa yang tidak terkejut ketika bertemu dengan sosok yang mirip dengan mayat yang baru saja aku lihat?

Kedatangan kami mendapat respon yang tidak ramah. Wajar saja gadis itu menanggapinya demikian, hatinya pasti masih terluka dan hendak melampiaskannya kepada siapa saja yang ia kehendaki. Tanpa permisi, Debo mengajakku masuk untuk memeriksa kamar tersebut. “Lancang sekali kau masuk ke sini!”

“Diamlah! Jangan ganggu pemeriksaan kami atau kau akan kami laporkan!”

Mika kemudian sengap. Ia hanya melihat apa saja yang dilakukan aku dan Debo dengan barang-barang kesayangannya, juga barang-barang milik mendiang adiknya, Kinan.  Ketika Debo menemukan map berisi berbagai macam koleksi bulu-bulu burung yang indah, Mika tampaknya terlihat tegang.

“Mau kau bawa kemana barang koleksiku, heh?”

“Tenanglah, kami akan mengembalikan barangmu besok pagi. Sekarang kami akan memeriksanya.

“Tapi—“

Aku menatapnya. Lalu ia tak melanjutkan perkataannya. Mika terduduk di tepi ranjangnya. Ketika aku dan Debo keluar dari ruang tersebut, sayup-sayup terdengar suara isakan. Ia kembali menangis.

***
“Kami tidak menemukan luka lain di tubuh korban selain luka jeratan di lehernya. Namun sepertinya, jeratan tambang di leher korban sangat kuat. Kami juga menemukan kandungan obat tidur dalam tubuh korban. Di hidung korban, ada darah kering yang basah oleh hujan. Kemungkinan korban dibunuh sore hari, lalu ia diletakkan di bawah pohon itu sekitar dini hari sebelum hujan.”

“Terima kasih keterangannya, Rik. Tim forensikmu sangat membantuku dalam memecahkan kasus ini.”

“Sama-sama, Bo. Tumben kau sendirian kemari. Kemana Reno?”

“Hmm... entahlah. Ia tiba-tiba pergi tanpa sepengetahuanku.”

Erik mengerti dengan perkataanku. Ia kemudian kembali ke ruangannya. Setelah mendapatkan keterangan dari tim forensik, aku melaporkannya kepada Brigjen Darto. Lalu, kukabari orang tua Kinan atas apa yang aku dapatkan. Aku yakin, di seberang sana mereka shock mendengar hal ini.

“Ngomong-ngomong, apakah Mika ada di rumah?”

“Tidak, Nak. Dia sedang mengikuti kunjungan ke luar kota. Ada keperluan apa?”

“Aku hanya ingin mengembalikan map koleksinya, Pak.”

“Langsung saja datang kemari.”

“Sepertinya nanti saja ketika ia sudah di rumah.”

Panggilan langsung kututup. Aku kembali mendapatkan kejanggalan selain map koleksi miliknya dan beberapa surat izin palsu yang sengaja kusimpan di dalam map tersebut. Namun, aku tak bisa asal dalam melakukan tugas ini. Hasil pemeriksaan dari tim forensik harus segera kusampaikan pada Brigjen Darto.

Mobil sedanku terparkir rapi di depan rumah sakit. Baru saja membuka pintu mobil, aku mendapat panggilan di ponselku.

“Nak, kereta yang dinaiki Mika kecelakaan.”

“Bapak tahu darimana kabar tersebut?”

“Dari televisi.”

“Lalu, bagaimana kondisinya sekarang?”

“Dia hilang. Bapak khawatir Mika diculik, Nak.”

“Bapak kenal dengan nama-nama penumpang kereta tersebut?”

“Tidak, Nak. Tidak sama sekali.”

***
Sedari tadi aku lelah berjalan dengan kondisi seperti ini. Untung saja, langit tak menangis walau mendung hingga sekarang. Jika bulir-bulir air yang berjumlah milyaran itu jatuh, aku akan terkapar di jalanan. Aku tak dapat membayangkan reaksi orang-orang ketika melihat kondisiku seperti demikian. Pasti mereka menyangka bahwa aku mayat, kemudian mereka berlari terpontang-panting karena ketakutan.

Tibalah aku di rumah kecil ini. Penghuninya menyambutku hangat. Ia sangat menyadari kondisiku yang sangat haus akan perhatian. Kini ia sedang membuatkan teh untukku. “Lebih baik kau mandi dulu, Ka. Kau lebih mirip tukang bangunan.” Ujarnya sambil mengaduk sepoci teh.

“Aku ini lelah, Ren. Coba kau pikir bagaimana rasanya berjalan sejauh dua belas kilometer.”

Reno menghidangkan teh itu untukku. Dengan air muka mengejek ia berkata, “Wajahmu tak lebih buruk dari pertama kita bertemu.”

Aku sedikit kesal dengan pernyataannya. “Sudahlah, aku tak mau mengingat hal itu lagi.”

Walaupun aku berkata demikian, nyatanya aku mendustai diriku sendiri; aku selalu mengingat kejadian konyol itu. Sejak pertama kali bertemu, ia memang sosok yang menarik. Ia tampak dewasa dengan kemeja merah marun yang dibalut dengan rompi biru dongker saat itu. Meski berpenampilan formal, kacamata minus berukuran sedang yang melekat di matanya membuatnya terlihat tampan. Aku merasa beruntung ketika ia membantuku hingga akhirnya kami saling mengenal satu sama lain. Kini, ia duduk bersamaku, dengan kaos hijau bergaris putih dan sepotong celana panjang. Ia tampak lebih rapi dibanding aku yang masih kumuh akibat polutan sepanjang jalan menuju rumah ini.

“Mika, apa yang kau pikirkan? Kejadian ketika kau tak sengaja menabrak meja minuman itukah?”
Lamunanku buyar oleh candaan Reno. Aku yakin, Reno berhasil membuat wajahku memerah akibat malu atas kejadian tersebut. “Aku terlalu sibuk melihat koleksi lukisan dan bulu-bulu burung yang indah di galeri itu. Jadi, wajar saja aku tak peduli dengan apa yang ada di depanku.” Ketika aku berkata demikian, ia menatapku. Seolah air muka abstraknya hendak menyampaikan sesuatu.  “Aku tak mengerti, apa maksudnya ia melakukan semua ini?”

“Aku juga heran, mengapa ia sangat terobsesi dengan barang langka itu. Bodohnya lagi, ia sampai tak bisa membedakan yang mana aku dan yang mana Kinan.”

Tawa kami kembali memecah suasana; mentertawakan aksi bodoh yang sudah terjadi. Hingga akhirnya, tawa kami buyar oleh suara ketukan pintu. Reno tak membukakan pintu. Aku melihat ekspresi datar dari dirinya. Keringat dingin mulai membasahi keningnya. “Ren, kenapa kau diam saja?”

Reno menutup mulutku, suaraku terlalu keras baginya. Ia berbisik, “aku tak pernah menerima tamu sekalipun. Tak ada seorang pun yang tahu keberadaan rumah ini.”

Aku baru teringat. Rumah ini berada di tengah hamparan padang ilalang. Suara ketukan pintu kemudian berhenti disertai pecahnya kaca dari jendela ruang belakang rumah Reno. Yang kami dapati adalah batu yang terbungkus koran; dengan sebuah bulu burung indah di dalamnya. Di atas koran tersebut, ada sebuah kalimat yang ditulis dengan tinta berwarna kontras.

Kau lupa mematikan GPS untuk bersembunyi.

Comments

Popular posts from this blog

Contoh Balasan Surat Pribadi

[Review Produk] Cuka Apel Tahesta, Produk Lokal Murah Menghilangkan Jerawat

Sahabat Pena