153

“Skenario panggung kehidupan terkadang sulit untuk ditebak. Namun terkadang, kau tak sadar, kau telah terperangkap dalam panggungmu sendiri.”

Bangunan berlantai enam itu menjulang tinggi di tepian perkotaan. Cat dinding berwarna kelabu itu mulai terkelupas. Kursi kayu yang nyaris lapuk menghiasi halaman utama. Walaupun demikian, penghuni tempat ini sepertinya sangat memperhatikan kebersihan tempat tinggal mereka.

Tawa riang anak-anak penghuni bangunan yang akrab disebut rumah susun ini memecah di setiap sudut koridor. Beberapa dari mereka sibuk bermain petak umpet. Sisanya bermain kejar-kejaran tanpa arah tujuan. Para ibu sibuk bergosip di halaman utama. Sesekali mengomeli anaknya untuk tak terlalu jauh bermain. Mereka tentu saja tak peduli, mereka tetap menikmati canda tawa mereka siang itu dengan riang.

Pemandangan ini kontras dengan suasana sebuah rumah dengan nomor 09 di blok B. Rumah yang berada di lantai 2 ini tampak hening. Jendela dibiarkan terbuka, sedangkan tirai kelabu merapat menghalangi cahaya matahari. Tepat di bawah jendela, sebuah ranjang memanjang hingga sudut kanan ruangan.

Seorang wanita bertubuh kurus tinggi terbaring di atas ranjang tersebut. Wajahnya tampak datar menatap langit-langit kamar. Air mata tak henti-hentinya menetes. Tubuhnya bergetar, suara itu terus mengiang di pikirannya.
***

Ia tampak benar-benar kesal dengan perempuan itu. Mulutnya tak berhenti mengumpat. Perkataan yang terlalu jujur dari perempuan yang ia umpat itu membuatnya benar-benar sakit hati. Bagaimana tidak, namanya kini membusuk di dalam buku kasus milik guru konseling.

Dan pada hari itu, semua terbayar sudah. Ia merendahkan perempuan itu di depan teman-teman sekelas, hingga semua mata hanya tertuju pada mereka berdua. Masing-masing kelompok di kelas mulai sibuk berbisik dan menatap sinis perempuan itu.

Semenjak semester akhir, hubungan persahabatan mereka hancur. Terutama setelah kejadian hari itu. Namun menjelang ujian akhir, mereka melupakannya. Tapi tetap saja, hal itu tetap membekas pada masing-masing dari dua orang sahabat ini.

***

Donuts Cafe. Tempat yang cukup ramai dikunjungi pagi itu. Lokasi cafe ini cukup strategis, jauh dari kedai-kedai kecil yang berada di setiap sudut kota. Sehingga keberadaan cafe ini bukanlah untuk menyaingi kedai-kedai tersebut. Setidaknya, mereka yang ekonominya menengah atas—para minoritas di kota tersebut, memiliki tempat sarapan tersendiri dan bertemu dengan rekan mereka. Tampak seperti diskriminasi. Tetapi, toh cuma sebuah cafe.

Walau disana dipenuhi mereka yang beraroma uang, pemilik tetap memilih para mayoritas—mereka yang ekonominya menengah kebawah untuk menjadi pekerja di cafe tersebut. Namun tentu saja, mereka yang bekerja disana adalah mereka yang terlatih. Selama setahun ini, pemilik yang akrab dipanggil Pak Don cukup puas dengan pekerjaan para pekerjanya.

Salah seorang pekerja di Donuts Cafe adalah Keira. Ia merupakan pelayan yang cukup ramah di cafe tersebut. Para pelanggan sangat mengenalinya karena keramahan tersebut.

Pelanggan memang tak terlalu memperhatikannya, namun rekan sesama pekerja merasakan adanya perubahan dari sosok Keira. Ia tampak sering melamun. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya. Meskipun demikian, mereka tak terlalu menghiraukan perubahan tersebut. Mereka terlalu sibuk melayani pelanggan yang datang setiap saat.

Keira mendapat tugas mengantarkan dua buah donat madu dan secangkir teh tawar. Ia membawa menu tersebut layaknya pelayan pada umumnya. Kemudian langkahnya terhenti seperti menghindari sesuatu di depannya. Refleks, tubuhnya jatuh tertelungkup. Cangkir dan piring yang ia bawa pecah dan beling-beling dari pecahan tersebut berserakan di sekitar tubuhnya. Beberapa orang membantunya bangun, sedangkan Pak Don shock melihat pekerjanya jatuh seperti demikian.

Para pekerja laki-laki mengangkat tubuh kurus Keira, membawanya ke ruang istirahat. Lalu tubuh Keira direbahkan di atas sofa. Tak sulit untuk menyadarkannya. Keira terbangun dengan tatapan kosong. Rega dan Sita, teman dekat Keira, membantu membersihkan luka bekas pecahan beling di tangan Keira. “ Kei, kau sakit? Bagaimana kau bisa jatuh tertelungkup seperti tadi?”

Keira tak menjawab pertanyaan Sita. Matanya tampak semakin sayu. “Kau tampak tak sehat, Kei. Belum sarapan?”

“Sudah, Ga. Bukannya kita sarapan barengan?”

“Kei, kau tak menjawab pertanyaanku tadi?”

“Maaf, Sit, aku belum bisa jelasin. Aku benar-benar terjebak.”

“Terjebak?”

“Jadi sekarang bagaimana? Apa aku boleh lanjut kerja, Sita, Rega?”

“Lebih baik kau istirahat dulu.”

***

            Tak seperti biasanya, hari ini aku kuliah pagi. Pekerjaan part time yang biasa kukerjakan di pagi hari kutunda hingga siang nanti. Pak Don yang baik hati memaklumi hal ini.

Kampus masih sepi saat aku datang kesana. Beberapa saat ketika aku berjalan di koridor menuju kelas, aku mendengar suara teriakan. Suara yang tidak asing dariku. Dari ujung kanan koridor, seseorang tampak lari menghindari sesuatu. Itu tampak dari pandangannya yang selalu berjaga keadaan di belakangnya. Kemudian ia berhenti, dengan wajah ketakutan—menghindari sesuatu di depannya. Seketika itu pula, ia jatuh tertelungkup.

Tunggu, bukankah itu Keira?

Benar saja. Ia kembali mengalami hal yang sama seperti yang terjadi di cafe. Bahkan setelah kejadian itu, ia tampak selalu paranoid. Pak Don iba melihatnya. Pak Don berniat untuk memecatnya, 

Wajahnya memar terantuk oleh lantai keramik. Ini sudah kesekian kalinya Keira mengalami kecelakaan seperti ini selama beberapa bulan belakangan ini. Apakah dia ayan atau bagaimana, aku tak paham dengan gejala yang ada dalam diri Keira. Jika ia memang ayan, ia pasti kejang-kejang di lantai usai terjatuh.

Kulihat, ia masih setengah sadar. “Kei, kau baik-baik saja, kan?”

Kesadarannya mulai pulih. Namun, sepertinya akan terjadi sesuatu yang buruk. “Bawa aku pergi dari sini, Sita. Bawa aku pergi, kumohon. Aku sudah tak bisa bertahan disini. Bawa aku pergi ke tempat sejauh-jauhnya, Ta!”

“Pergi? Pergi dari kampus, maksudmu?”

“Bukan, Ta. Dari semua mimpi burukku.”

***
Kring... kring... kring....

“Halo, Kei, ini aku, Mila.”

“Mila! Wah sepertinya sudah lama sekali kapan terakhir kita bertemu. Bagaimana dengan sekolahmu di Singapura sana?”

“Baik-baik saja, seperti mahasiswa yang lainnya. Hari ini kau sibuk?”

“Tidak, pekerjaanku telah selesai dan dosen tak mengajar hari ini. Memangnya ada apa?”

“Bagaimana jika kita bertemu di kedai dekat kantor kedutaan? Ya, sambil bernostalgia.”
“Tentu saja.”

“Baiklah, satu jam dari sekarang, ya!”

“Ya, satu jam dari sekarang.”

Telepon ditutup. Keira bernafas lega. Ini waktu yang tepat untukku, batinnya.

Satu jam kemudian....

Keira berjalan dari halte bus menuju kedai tempat ia bersantai pada saat SMA dulu. Di seberang tempat ia berjalan, kedai itu tampak ramai. Ia sulit mencari Mila, sahabatnya. Kemudian tak lama, Keira menyadari keberadaan Mila setelah Mila melambaikan tangan ke arahnya. Namun belum sempat ia menyeberang, sesuatu meledak dari dalam kedai. Asap bekas ledakan menghalangi lambaian tangan Mila ke Keira. Pupil mata Keira menciut. Ia benar-benar shock.

“Keira, tolong aku, Kei. Tolong aku....”

Di antara orang-orang yang terluka—ada pula yang mati, Mila tampak tertelungkup dengan kepala menghadap ke arah Keira. Keira ingin menolong sahabatnya itu. Tapi darah yang tak berhenti mengalir di lokasi tersebut membuatnya parno. Ia benar-benar tak sanggup saat itu. Ia hanya bisa membantu menelpon polisi dan ambulans.

Sesaat setelah ambulans datang, Mila dibawa beberapa perawat. Keira mengikuti perawat yang membawa Mila. “Bagaimana keadaannya, ia hanya terluka, ‘kan?”

“Maaf, korban sudah wafat.”
***

Langit-langit yang kosong itu tampak hampa. Tangisan tanpa suara dari wanita itu seperti tiada ada habisnya. Jantungnya berdetak dengan liarnya. Ia benar-benar terjebak. Ia tak bisa pergi dari semua hal yang telah ia jalani selama ini.

Semua tampak terencana. Segala kesalahan di masa lalu membuatnya terpojok. Kini, ia hanya bisa menahan semua rasa sakit dari kesalahan-kesalahan itu.

“Keira, tolong aku, Kei. Tolong aku....”


Comments

Popular posts from this blog

Contoh Balasan Surat Pribadi

[Review Produk] Cuka Apel Tahesta, Produk Lokal Murah Menghilangkan Jerawat

Sahabat Pena