Dirma

Seperti kembali ke masa lalu, tepat ketika Kak Karta masih ada. Ia berjalan ke arahku dari sekumpulan pepohon yang rindang. Biru dari atmosfer langit sedang bersembunyi diantara kabut saat itu. Hingga pepohonan nun jauh disana terlihat bagai dimensi lain. Namun cahaya mentari dengan elok bersinar dari celah-celah ranting pepohonan. Cukup menerangi langkah Kak Karta hingga ia berhenti lima kaki dari hadapanku. Tersungging senyuman ramah dari bibir tipisnya; senyuman yang begitu damai.

Tak sempat membalas senyumannya, tiba-tiba dagunya meninggi. Wajahnya tampak memucat. Tubuhnya melayang sehasta diiringi dengan pekikan mengerikan. Aku tak pernah mendengar Kak Karta memekik seperti demikian sepanjang hidupnya. Kulihat bagian lehernya sedikit menganga. Beberapa saat kemudian, ia terjatuh tak berdaya.

Dengan liarnya jantungku berdetak. Hingga aku tak sadar apa yang terjadi kemudian.

Cahaya mentari menyelamatkanku dari kejadian mengerikan itu. Bunga tidurku itu benar-benar terlihat nyata. Aku segera bangkit dari ranjangku dan membuka jendela. Cahaya mentari perlahan menyinari sudut-sudut ruangan. Bersinar hangat merasuki tuhuhku. Cukup membantuku untuk menenangkan saraf-saraf otakku dari mimpi buruk itu.

Kemudian, seekor kupu-kupu masuk dari jendela yang baru saja kubuka. Ia mengelilingi seisi ruangan. Serangga manis itu terlihat ceria, kontras sekali dengan kegelisahanku saat ini. Seketika, aku teringat dengan apa yang dikatakan Kak Karta dulu, kehadiran seekor kupu-kupu menandakan adanya kehadiran seseorang. Kak Karta, apakah ini hadirmu?

***

“Dirma, kakak sudah pulang!”

Karta terlihat seperti biasanya, hanya terlihat letih sepulang sekolah. Sesuatu yang ia sembunyikan itu seolah hilang tak berbekas. Sang adik, Dirma, menyambutnya hangat serta membawakannya tas hingga sampai ke kamarnya. “Tas ini ‘kan berat, Dik.”

“Tak apa, Kak. Kakak pasti capek seharian di sekolah. Ngomong-ngomong, aku sudah siapkan nasi padang kesukaan kakak di meja makan.”

Perkataan Dirma menciptakan sunggingan kecil dari bibir Karta yang kering saat itu. Sesuatu yang hilang itu kembali dalam ingatan dirinya. Ketika Dirma memalingkan tubuhnya dan kembali ke kamarnya, senyuman Karta memudar. Karta menggelengkan kepalanya. Ayolah, Karta. Itu hanya firasatmu saja. Batinnya menenangkan diri. Ia berharap pikiran itu menghilang sejenak.

Nasi padang di atas meja makan ia bawa ke dalam kamarnya. Ia duduk di tepi ranjang sambil memperhatikan sejenak kandang mungil berisi kepompong di atas meja belajarnya yang berada tepat di samping jendela. Kemudian, ia melahap nasi padang itu hingga habis. Permainan basket di sekolah tadi benar-benar menguras tenaganya.

Setelah makan, Karta pergi ke kamar Dirma. Entah apa yang ia pikirkan saat itu; khawatir dengan Dirma atau khawatir dengan dirinya sendiri. Diabaikannya pertanyaan yang terngiang di rongga kepala. Ia ketuk pintu sejenak, lalu Dirma membukakan pintu dengan air muka datar. “Ada apa, Kak?”

“Kamu sudah makan obat?”

“Sudah, Kak. Kebetulan juga kakak kesini. Barusan ayah menelpon, beliau pulang larut malam ini. Ada pertemuan penting, katanya.”

Karta meresponnya dengan tersenyum kecut. Dirma sempat memandangnya sebelum menutup pintu. Ia menarik nafas menenangkan hatinya. Ini benar-benar diluar dugaannya. Ia terus menenangkan diri dari firasat buruk itu. Ia mencoba mencari kesibukan lainnya; menulis laporan metamorfosis kupu-kupu.

Ia mulai mengamati kepompong yang sudah berusia lebih dari seminggu itu. Kemudian ia menuliskan laporan tentang perubahan-perubahan dari wujud kepompong tersebut. Entah mengapa, ini adalah tugas yang menyenangkan baginya. Ia memang menguasai pelajaran biologi, dan ia sangat membenci fisika. Karta membenci suatu hal yang rumit; terutama firasatnya kali ini.

Ketika ia hendak membidik sebuah foto dari kepompong tersebut, ia membuka laci di bawah meja belajarnya untuk mengambil kamera digital miliknya. Namun, yang didapatinya adalah sebuah foto. Fotonya bersama Dirma ketika liburan kenaikan kelas beberapa bulan yang lalu di Danau Biru. Ia tersenyum simpul ketika ia mengingat kejadian konyol yang dilakukan sang adik ketika berlibur ke sana.

Tiba-tiba, Dirma berteriak. Penyakit epilepsi yang di deritanya kembali kambuh. Tidak seperti biasanya, Karta merasa jantungnya berdetak lebih kencang. Ia menghentikan langkahnya; ragu untuk membantu sang adik, Dirma. Namun ini adalah tugasnya,  hanya dia yang bisa memberikan pertolongan pertama untuk Dirma.

Sesampainya di kamar Dirma, Karta menggendong Dirma yang sebelumnya kejang-kejang di lantai. Lalu ia rebahkan tubuh adiknya ke atas ranjang. Karta mencoba memperbaiki posisi tubuh Dirma. Merupakan hal yang biasa untuk Karta menghadapi kondisi sang adik yang mempunyai riwayat penyakit gangguan sistem saraf itu. Karta memperhatikan wajah sang adik yang masih dalam kondisi kejang-kejang.

Tak lama, Dirma berhenti kejang-kejang. Matanya menatap tajam ke arah Karta dengan seringai lebarnya.

“Kamu... kamu bukan Dirma!”
***
Satu-satunya tempat yang menenangkanku adalah tempat ini, tempat dimana Kak Karta belajar dan melakukan segala aktifitasnya di rumah. Dulu, tempat ini kusebut kamarnya. Namun semenjak kepergiannya seminggu yang lalu, mungkin lebih tepat jika tempat ini dianggap sebagai “museum” Kak Karta. Segala aksesoris basket ada di kamarnya. Ia merupakan salah satu pebasket hebat di sekolahnya.

Bagiku, si jangkung itu tak hanya hebat sebagai pebasket, ia juga sosok kakak yang luar biasa. Setiap sesuatu menegang di otakku dan aku berubah layaknya orang asing bagi siapapun yang melihatku, ia dengan sabarnya menolongku

Tapi kini ia sudah pergi. Lembaran memorinya berakhir singkat. Tetapi, kenangan darinya tidak akan pudar dari ruang pikiranku. Tanpa ia, keseharianku kosong. Walaupun sekarang ayah pulang lebih awal semenjak kepergiannya.

Ada satu benda yang menarik di meja belajarnya; sebuah kandang berisi kepompong. Warna kepompong sudah terlihat transparan. Sepertinya, makhluk indah itu akan segera keluar dari masa metamorfosisnya. Aku duduk di depan meja belajar itu. Berharap kepompong milik Kak Karta itu akan keluar wujud kupu-kupu yang indah dari kupu-kupu tadi pagi.

Tak lama, kepompong mulai terbuka. Perlahan, kupu-kupu itu membebaskan dirinya dari rumah tempat ia berhibernasi. Ia masih mengeringkan sayapnya untuk terbang. Ini kesempatanku untuk membidik foto dari kupu-kupu itu.

Aku membuka laci untuk mengambil kamera digital milik Kak Karta. Namun hal pertama yang kutemukan bukanlah kamera digitalnya.

Yang kutemukan adalah fotoku bersamanya ketika liburan di Danau Biru, dengan cutter berlumur darah kering tertusuk di foto tersebut, tepatnya di bagian leher Kak Karta.


Tunggu, apa yang sudah aku lakukan?

Comments

Popular posts from this blog

Contoh Balasan Surat Pribadi

[Review Produk] Cuka Apel Tahesta, Produk Lokal Murah Menghilangkan Jerawat

Sahabat Pena