Kamu

Kamu duduk disana. Termenung menatap pelita di depanmu. Tatapan kosongmu sedari tadi berlawanan dengan api kecil yang menyala di dalam pelita itu. Tangan kananmu tak berhenti menahan kepalamu yang lelah. Sedang tangan kirimu sesekali menulis kata-kata. Wajah datarmu terlihat kacau.

Saat itu, aku mendengar suara gemuruh dari luar. Apakah kamu mendengarnya? Aku tahu pasti jawabanmu. Kamu hanya menghiraukannya. Tak peduli apapun yang terjadi di luar sana. Seperti yang pernah kamu ceritakan kepadaku. Ingatkah kamu tentang hal itu?

Kita bertemu ketika aku kehilangan arah. Ketika aku singgah di sebuah rumah kecil beratapkan kulit kayu dan berdindingkan bambu serta berlantai tanah. Aku duduk disana, di atas kursi di depan rumahmu. Berharap temanku mendapatiku tengah tersesat. Namun, hanya kamu yang datang.

Kamu hanya melihatku sejenak. Kamu tampak tak peduli. Kamu hanya datang untuk melihat dan masuk ke rumahmu tanpa mempersilahkanku masuk. Mungkin karena aku yang tak sopan. Aku mengetuk pintumu. Berharap kamu mau menjadikanku seorang tamu. Namun kau tak merespon. Aku buka begitu saja pintu rumahmu dan saat itulah, untuk pertama kalinya aku membuatmu marah.

Aku hanya terdiam malu mendengar kemarahanmu. Dan diamnya aku, membuatmu diam pula. Kamu mulai bertanya kepadaku, dalam maksud apa aku datang ke rumahnya. Aku tersesat, begitulah jawabanmu. Namun, kamu tak menawarkan kepadaku untuk mencari temanku. Kamu terlihat kesepian saat itu. Mungkin, kamu memang terbiasa dengan kesepian. Mungkin, kamu ingin menjadikanku seorang teman. Bahkan seorang sahabat, mungkin. Itulah yang kupikirkan.

Seketika pikiranku membuyar. Kamu menyunggingkan sebuah senyuman yang membuat hatiku terasa teduh. Senyuman itu seolah menyamarkan bekas luka gores di kedua pipimu. Angin meniup sendu tudung sepinggang yang menutupi kepalamu. Kamu memperkenalkan dirimu padaku. Maryam. Seorang wanita mulia yang namanya disebut dalam Al-Qur’an. Mungkin, orang tuamu berharap kamu semulia seorang dibalik namamu.

Kamu mendekatkan dirimu selangkah di depanku. Kamu membelai rambutku yang dikuncir kuda. Kemudian kamu memalingkan tubuhmu. Pergi. Lalu kembali membawa sepotong kain biru. Senada dengan warna kaos yang kukenakan. Kamu menutupi rambutku dengan kain tersebut. Aku diam tak menolak. Aku mulai mengerti maksudmu. Kamu kembali menampilkan senyummu yang begitu menyejukkan saat kain itu menutupi kepalaku dengan sempurna.

Nida, jangan pernah melepaskan kain ini, kecuali dengan mahrammu.”

Kalimat sederhana yang keluar dari bibirmu membuat perubahan besar bagiku setelahnya. Namun, satu hal yang membuatku berpikir. Mengapa dirimu tinggal sendirian?

Kamu mengungkapkannya. Aku benci dunia luar. Begitulah katamu.

Aku tak mengerti mengapa kamu membenci dunia luar. Bukankah segalanya datang dari sana? Bukan. Bukan karena itu.
***
“Ummi... Abi...!” teriak gadis itu. Ia berusaha lari. Namun Bibi Surti enggan melepaskannya. Ia memeluk erat Maryam.

“Jangan, Maryam. Jangan masuk kesana. Berbahaya!”

“Biarin, Bi. Biarin Maryam terpanggang. Asal Ummi dan Abi Maryam selamat dari kebakaran. Maryam mohon, Bi. Lepaskan pelukannya,” gadis itu meronta. Namun perkataannya tak dituruti. Tak ingin Bibi Surti turuti. Ia khawatir dengan Maryam.
***
“Eh, Maryam tuh!”

“Mana?”

“Bentar lagi dia bakal lewat sini.”

“Eh... eh... entar lagi dia lewat!”

Maryam lewat di hadapan mereka. Dan... CUIH. Salah satu dari enam remaja putri itu meludahi Maryam. Seorang lagi menarik kerudung yang dikenakan Maryam. Gadis yang bernama Mita itu menarik Maryam lebih dekat.

“Kamu tahu ‘kan kesalahanmu?”

Maryam hanya mengangguk pelan. Tenggorokannya tercekat, menghalangi kata yang hendak keluar dari bibirnya.

“Bagus. Awas kalau kamu ketahuan deket lagi sama Ahmad.”

Maryam tak merespon. Lalu Mita mendorongnya hingga jatuh ke tanah. Mereka pergi dengan tawa yang menggelikan. Maryam mencoba bangkit. Ketika ia berdiri dan memalingkan tubuhnya, Ahmad telah berdiri tepat di depannya. Ia terkejut. Ahmad menawarkan sapu tangan miliknya. Maryam menolak. Ia pergi sejauh mungkin.
***
Maryam terus memperhatikan pintu yang terbuka. Ia terus mencoba melepaskan tambang yang mengikat kedua lengannya. Perlahan. Hingga akhirnya lepas dengan mudah. Ikatannya tak begitu kencang. Ia melepaskan tambang yang mengikat kakinya dan kursi yang ia duduki. Ia melepas sepatunya dan menyimpannya ke dalam ransel yang diletakkan di belakang kursi isolasinya.

Ia keluar dari rumah yang selama beberapa hari mengurungnya. Ia lari dari segala perbuatan gila sang penculik. Ia sudah muak berhadapan dengan pria bengis itu. Tiada hari tanpa sayatan darinya. Ia selalu tersenyum menyeringai dan tertawa tiap kali mendengar suara kesakitan Maryam yang disamarkan oleh sapu tangan yang menutupi mulutnya. Seolah menyayat seseorang menjadi alkohol baginya
***
Kini, kamu tak termenung menatap pelita di depanmu. Kamu menulis sesuatu disana. Kamu terlihat kacau ketika menulis saat itu. Hingga akhirnya kamu terlihat lebih tenang ketika melihat mushaf Al-Qur’an yang tergeletak di seberang meja tempatmu kini.

Kamu membukanya. Membaca surah Maryam. Kulihat, kamu menitikkan air mata dari mata mungilmu. Suaramu bergetar haru. Terlihat jika kamu merasakan Ar-Rahman berada di dekatmu.

Namun, kamu tak sadar. Sepasang mata tengah mengintaimu. Menyeringai melihatmu. Alunan merdu suaramu tak dihiraukannya. Ia ayunkan pisau di tangan kanannya. Ia tak dapat menahan nafsu untuk menghujam pisau itu ke tubuhmu.

Maryam, jika aku tak pergi secepat ini, mungkin aku akan melindungimu. 

Pontianak, 4 Juli 2015
10.53 WIB

Comments

Popular posts from this blog

Contoh Balasan Surat Pribadi

[Review Produk] Cuka Apel Tahesta, Produk Lokal Murah Menghilangkan Jerawat

Sahabat Pena