Saman: Perjamuan Ketegangan Masalah Manusia dan Romansa


Judul: Saman

Penulis: Ayu Utami

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia

Tebal: 200 halaman

Saman merupakan buku pertama Ayu Utami yang saya baca. Barangkali karena saya selalu menyukai bagaimana penulis perempuan menuangkan isi kepala dan benaknya. Lantunan narasi dari novel ini begitu mengalir, jujur, dan indah. Dalam buku yang tidak begitu tebal ini, Ayu memadukan persoalan lingkungan, pergolakan politik, kisah mistis nan melankoli, hingga percintaan yang manis dengan begitu cerdas.

Saman—yang menjadi judul buku ini—adalah seorang pria yang lahir di antara kematian saudara-saudara perempuannya yang hanya mengenali kehidupan di luar rahim beberapa saat saja atau bahkan tak pernah sama sekali. Hidup dalam lingkungan Katolik yang begitu religius hingga memanggil hatinya mengabdi menjadi pastor. Kemudian ia mengenali panggilan lain ketika ia mengabdi di lingkungan yang didominasi transmigran Muslim miskin. Ia terlibat dalam perebutan lahan karet di Pramubulih oleh perusahaan sawit. Penindasan yang dialami mereka membuatnya merasa kecil hingga ia berkelana dan memutuskan keluar dari pastorial—menjadi seorang “aktivis” yang aktif mengejar hak asasi.

Perjalanan Saman mempertemukannya dengan keempat sahabat perempuan—Laila, Cok, Shakuntala, dan Yasmin—yang digambarkan sebagai perempuan-perempuan yang berbeda namun selalu ada dalam konstruksi sosial masyarakat kita. Laila, perempuan yang menjaga keperawanannya bahkan saat kencan dengan suami orang sekalipun. Cok, perempuan yang dianggap paling sundal yang mengencani beberapa pria sekaligus. Shakuntala, perempuan pemimpi dan mengimpikan kehidupan imajinatifnya sebagai keturunan peri yang gemar menari serta begitu membenci ayahnya. Yasmin, perempuan yang setia pada satu lelaki dan menikah dengannya. Dua diantara keempat sahabat itu mengagumi Saman.

Cerita para perempuan ini cukup menyita perhatian saya selama membaca mereka. Ungkapan mereka soal cinta dan seks yang tabu terasa jujur serta humoris, meski diantara kisah tersebut para perempuan ini tetap makhluk sentimentil dengan rahasianya masing-masing. Saman yang lelaki pun tak selalu digambarkan sebagai pria heroik seperti yang dituliskan banyak penulis pria. Ia berkali-kali digambarkan sebagai seorang manusia yang rapuh, penuh pertanyaan dan perasaan gundah gulana. Namun tak juga mengesampingkan kekuatan pribadinya, seimbang dengan tokoh keempat sahabat yang ditemui Saman saat mereka duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama.

Selain pengembangan tokoh yang menarik, buku ini juga dibumbui dengan narasi-narasi imajinatif dan kisah-kisah pada sejarah kehidupan manusia yang membangun cerita. Senang membaca tulisan-tulisan pemenang sayembara roman atau novel Dewan Kesenian Jakarta menjadi salah satu bentuk apresiasi saya terhadap sastra di Indonesia. Saman salah satu yang terbaik diantaranya. Tak ingin berhenti rasanya saya memuji keindahan tulisan di roman ini. Barangkali ini yang mengantarkan saya memiliki hasrat ingin membaca tulisan-tulisan eksploratif Ayu Utami lainnya.

Comments

Popular posts from this blog

Contoh Balasan Surat Pribadi

[Review Produk] Cuka Apel Tahesta, Produk Lokal Murah Menghilangkan Jerawat

Sahabat Pena