Sesuatu Serupa Warna yang Luntur dari Dalam Seorang Manusia


Judul: Tsukuru Tazaki Tanpa Warna dan Tahun Ziarahnya
Penulis: Haruki Murakami
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Jumlah Halaman: 345

Asia menempati peringkat teratas dengan ragam bahasa paling rumit. Jepang satu di antara negeri yang memiliki struktur bahasa yang cukup rumit dan berada di Asia. Hurufnya saja ada empat jenis, diantaranya kanji, romaji, katakana, dan hiragana. Beberapa kata yang sama akan bermakna berbeda apabila ditulis dengan huruf yang berbeda. Namun karena perbedaan tersebut, justru memudahkan penduduk Jepang memberi nama anak-anaknya agar kaya akan makna.

Dalam linguistik Jepang, nama Tsukuru Tazaki tidak melekat warna sedikitpun. Ia dipanggil "Tsukuru" di antara kelompok pertemanan yang harmonis-teratur. Berbeda dengan teman-temannya yang berwarna dengan panggilan warna pula, Ao untuk panggilan Yoshio Oumi, Aka untuk panggilan Kei Akamatsu, Shiro untuk panggilan Yuzuki Shirane, dan Kuro untuk panggilan Eri Kurono. Tanpa alasan, keempat temannya memutuskan hubungan mereka dengan Tsukuru saat menginjak kuliah semester tiga.

Tsukuru seolah telah dicabut berkali-kali nyawanya oleh entitas yang disebut banyak orang sebagai dewa kematian. Dia cukup depresi saat itu dan penampilannya berubah menjadi lebih kurus. Dia sama sekali tak mau tahu mengapa teman-temannya tiba-tiba tak mau lagi berhubungan dengannya. Bukan karena dia sudah tahu, melainkan karena ia dilanda kebingungan yang tak berkesudahan dan kekecewaan yang amat berat. Selama bertahun-tahun, selain menjalani aktivitas, ia tak pernah berhenti memikirkan kesalahan apa yang telah ia buat.

Ia tak pernah memiliki teman selain komunitas harmonis-teratur tersebut. Kemudian ia dipertemukan dengan Haida, adik tingkatnya yang menjadi temannya yang cukup akrab. Ketertarikan Haida dengan musik mengingatkan Tsukuru pada Shiro, tepatnya musik yang dimainkan Shiro setiap memainkan pianonya. "Karya Franz Liszt, 'Le mal du pays'. Dari 'Première annèe: Suisse' dalam kumpulan suite: Années de pèlerinage (Tahun-tahun Ziarah)" (hal. 58). Dari Haida, Tsukuru menyadari bahwa ia tengah bertemu dengan orang berwarna pula. Fumiaki Haida. Sawah abu-abu. Tak hanya dari namanya, namun juga cerita tentang ayah Haida. Tsukuru tak begitu yakin itu cerita sang ayah atau Haida sendiri. Sang ayah mengembara di usia awal 20-an dan mengambil cuti kuliah. Ia bekerja di penginapan kecil dan bertemu dengan seorang tamu bernama Midorikawa. Midorikawa datang ke sana menikmati hari-hari menjelang kematiannya. Tak ingin ia serahkan hal magis dalam dirinya yang dapat melihat warna-warna setiap manusia kepada orang lain hanya untuk meneruskan estafet kematian, meskipun orang tersebut telah berada di depan matanya. Orang tersebut tak lain adalah ayah Haida. Haida  menurunkan warna khas dalam diri ayahnya. Atau mungkin, dialah orang yang dimaksud Midorikawa.

Banyak sekali obrolan yang telah dilewati Tsukuru bersama Haida. Namun sebuah kejadian yang hanya terjadi di dalam mimpi buruk Tsukuru, justru menjadikan Haida tiba-tiba menjauhinya. Ia kembali ditinggalkan tanpa alasan. Selain kejadian masa mudanya tersebut, Sara, kekasih Tsukuru, juga merasakan ada sesuatu yang luntur dalam diri Tsukuru. Sara menyarankan Tsukuru untuk menemui teman-temannya dari komunitas harmonis-teratur yang sudah ia tinggalkan semua kabarnya sejak enam belas tahun lalu.

Dalam novel ini, Haruki Murakami menerangkan bahwa setiap manusia memiliki warna. Sewaktu-waktu, warna tersebut akan luntur dengan penyebab yang tak pasti. Dalam beberapa konversasi, Sara menceritakan temannya yang dahulu menarik banyak perhatian perlahan-lahan ditinggalkan temannya karena sesuatu dari dirinya luntur. Ada pula ungkapan dari Kuro yang menceritakan tentang Shiro yang kian memudar kepribadiannya tak lama sebelum akhirnya terbunuh di apartemennya. Dalam alur cerita pada novel ini, banyak sekali kehampaan yang dirasakan Tsukuru. Tsukuru merasakan pasti lunturnya warna dalam dirinya yang lahir tanpa warna. Cukup paradoks untuk seorang Tsukuru, namun ternyata sesuatu yang serupa warna itu mempengaruhi hubungannya dengan Sara, kekasihnya. Untuk menjaga keseimbangan, ia mencoba berdamai dengan masa lalu.

Selain hal abstrak yang serupa warna itu, kematian merupakan satu diantara hal yang begitu dekat dengan perjalanan Tsukuru. Bukan hanya perasaannya yang ia anggap mati, namun juga kematian sahabatnya, Shiro, dan cerita tentang orang yang hendak mendekati kematian, yaitu Midorikawa. Kematian bersuara dengan begitu kaya hingga bisa saja semua orang menginginkannya.

Alur yang berjalan di cerita cukup lambat, namun begitu melankoli. Segala pemikiran dan penglihatan tercurah dalam setiap diksinya. Tentang bagaimana ia melihat aktivitas favoritnya kini telah memberikannya profesi, yaitu kesenangan terhadap stasiun, hingga kemungkinan-kemungkinan yang terjadi yang menjadi alasan mengapa ia terus ditinggalkan orang-orang yang telah memberi kesan baik kepadanya. Tsukuru digambarkan Murakami sebagai refleksi manusia yang merasakan kesia-siaan hidup, namun ia tak begitu menyadari bahwa ia adalah makhluk paling berarti yang tercipta untuk dunia di sekitarnya.

Novel ini ditutup dengan kekhawatiran yang amat besar dari diri Tsukuru. Ia yang mulanya tak begitu memahami perasaan dengan gamblang kini mulai haus akan cinta. Murakami berhasil menciptakan karya yang apik. Murakami menciptakan Tsukuru yang terbelenggu perasaan kebingungan yang amat dalam hingga hendak menemui kematiannya. Namun ia menyingkapnya dengan membebaskan Tsukuru dari sangkar dengan berbagai peristiwa dan pemikiran yang kaya.


Resensi Tsukuru Tazaki Tanpa Warna dan Tahun Ziarahnya Haruki Murakmi, Review Tsukuru Tazaki Tanpa Warna dan Tahun Ziarahnya

Comments

Popular posts from this blog

Contoh Balasan Surat Pribadi

[Review Produk] Cuka Apel Tahesta, Produk Lokal Murah Menghilangkan Jerawat

Sahabat Pena