Cerita-cerita Dalam Penungguan Masa Untuk Pulang
Judul: Pulang
Penulis: Leila S. Chudori
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tebal: viii + 461 halaman
Saya tak begitu berekspektasi saat membaca Pulang, terkecuali pada gaya bahasa
Leila yang selalu membuat saya jatuh cinta—seperti yang telah saya baca
sebelumnya, 9 Untuk Nadira dan Malam Terakhir. Hal tersebut karena isi
cerita yang berbeda. Bila 9 Untuk Nadira
dan Malam Terakhir menceritakan
banyak kisah personal yang menyentuh, Pulang
menyentuh dengan kisah personal yang menjadi salah satu dampak dari guncangan
politik. Bisa dikatakan bahwa Pulang
merupakan historical fiction. Pulang sendiri berlatarkan berbagai catatan sejarah, mulai dari
Indonesia 30 September 1965, Prancis Mei 1968, dan Indonesia Mei 1998.
Pulang menyuguhkan cerita sejarah dengan pendekatan yang
cukup personal, yakni korban. Pasca 30 September 1965, tokoh utama, Dimas Suryo
yang tak begitu memihak dan berideologi tak dapat kembali ke Indonesia karena
dianggap dekat dengan Hananto yang berideologi komunisme. Pada mulanya, Dimas
dan rekan-rekannya di Kantor Berita Nusantara, Tjhai, Nug, dan Risjaf berpencar
di beberapa negara kemudian memilih tinggal bersama di Paris, Prancis. Tinggal
di Paris kemudian memberikan kisah yang panjang bagi Dimas. Ia kemudian bertemu
dengan Vivienne saat aksi Mei 1968, menikah, dan memiliki anak bernama Lintang.
Kisah tentang cinta masa lalu di Indonesia pun tak
lepas begitu saja diceritakan dalam Pulang.
Apa yang terjadi di tanah air selama Dimas dan rekan-rekannya tak dapat kembali
dikisahkan keluarga mereka lewat surat dan telegraf. Tak hanya mereka yang di
Paris, keluarga mereka dan keluarga Hananto pun tak henti-hentinya menjadi
sasaran untuk mengetahui keberadaan mereka.
Pulang dengan pendekatan personal dan pergolakan politik
dipadukan dengan gaya bahasa yang apik dan mampu memberikan visual kepada
pembaca. Hal ini yang membuat Pulang mampu
menyentuh emosi serta menumbuhkan empati pembaca. Kutipan cerita dan puisi dari
berbagai sastrawan di dalam Pulang
juga begitu padu dan cukup berperan dalam membangun cerita. Bahkan dalam satu cerita
pewayangan, Ekalaya, diceritakan dengan begitu mudah dipahami—tidak seperti
kisah wayang yang dikutipkan dalam 9
Untuk Nadira atau dalam buku yang hanya berisi kisah pewayangan yang perlu
saya baca beberapa kali untuk memahami. Mulanya saya yang cukup kagum dengan
Pandawa justru iba dengan cerita kesetiaan Ekalaya yang dikhianati.
Dalam halaman-halaman yang cukup tebal, Pulang mengisahkan romansa percintaan
yang menyentuh dan menyenangkan, perjuangan yang tak lepas dari humor, drama
keluarga yang tak pernah berujung, persahabatan yang romantis, hingga
pengkhianatan dan kekejaman yang terus membuat geram. Leila mampu menceritakan
tokoh-tokohnya sesuai dengan pribadi tokoh tersebut.
Cerita-cerita Pulang
terbagi dalam kisah Dimas Suryo, Lintang Utara—putri Dimas, dan Segara Alam—putra
bungsu Hananto yang kemudian terbagi dalam beberapa sub bab dengan sajian kisah
yang beragam. Ketika Lintang telah dewasa, hubungannya dengan ayahnya tak lepas
dari drama dan pada akhirnya mereka kembali dekat oleh rasa ingin tahunya akan
negeri sang ayah, Indonesia. Ketika Lintang ke Indonesia untuk tugas akhirnya,
ia bertemu dengan Alam di momen Mei 1998. Dimas dan Lintang memiliki kesamaan
karena terjebak dalam suatu pilihan. Namun Lintang memilih jalan yang berbeda
dengan Dimas.
Dengan cerita-cerita tersebut, Pulang pada akhirnya menceritakan sebuah perjalanan waktu bagi Dimas untuk menunggu waktu ia akan pulang ke negerinya.
“Ayah, katakanlah, apakah Ayah masih seorang pengelana? Seorang flâneur yang masih selalu mencari, berjalan terus, dan tak ingin berlabuh?”
Kali ini Dimas menjawab dengan jujur dan ikhlas, “Aku ingin pulang ke rumahku, Lintang. Ke sebuah tempat yang paham bau, bangun tubuh, dan jiwaku. Aku ingin pulang ke Karet.” (halaman 279-280)[]
Review Pulang Leila Chudori, Resensi Pulang Leila S. Chudori
Comments
Post a Comment