Menumbuhkan Empati dari Sudut Pandang Baru
Judul: Anak Gembala yang Tertidur Panjang di Akhir
Zaman
Penulis: A. Mustafa
Penerbit: Shira Media
Tebal: vi + 358 hala man
Sebelum akhirnya membeli dan membaca buku ini, saya
sudah mendapat petunjuk dari seseorang bahwa buku ini menceritakan tentang seorang
pemeluk Ahmadiyah. Selain karena topik tersebut seperti novel Maryam karya Okky Madasari yang pernah
saya baca dam saya senangi perspektifnya, belakangan saya memang tertarik
dengan cerita-cerita dengan tokoh yang berasal dari kalangan minoritas dan
marjinal karena pada akhirnya saya menemukan perspektif baru dari kehidupan
seseorang yang tentu tak pernah saya alami, meski dalam konteks ini berasal
dari cerita fiksi. Hal yang selalu saya ingat dari dosen saya berkaitan dengan
alasan mengapa harus membaca karya sastra adalah untuk membangun rasa empati
dan memanusiakan diri sendiri.
Secara umum, novel ini menceritakan kisah tentang
Rara Wilis, seorang waria dan Suko Djatmoko, seorang pemeluk Ahmadiyah. Di
masyarakat Indonesia, mereka berdua berasal dari kelompok minoritas dan marjinal.
Karena sulitnya mendapat pekerjaan yang menerima waria, Rara Wilis memilih
untuk nyebong. Sedangkan Suko selalu
mendapat penolakan dari warga karena dia seorang Ahmadi. Keduanya divisualisasikan
pada cover dengan posisi terbaring
dan tertidur.
Dalam buku ini, saya menemukan detail dari pandangan
kehidupan seorang waria dan seorang Ahmadi. Tentang bagaimana Rara Wilis tumbuh
hingga menemukan jati diri menjadi waria hingga tentang titik balik Suko
Djatmoko memutuskan untuk memeluk Ahmadiyah. Rara Wilis terkadang dihantui
laki-laki yang menghinanya sebagai orang yang tidak menerima kodrat sekaligus
penikmat tubuhnya hingga rasa bersalahnya terhadap kedua orang tuanya yang selalu
memberi perhatian kepadanya—tak seperti orang tua dengan anak waria lainnya. Rara
Wilis bahkan beberapa kali harus menerima nasib sial akibat pandangan
masyarakat yang menganggapnya sebagai sampah atau pembawa petaka. Suko sendiri
menjadi seorang yang begitu mendalami kepercayaannya dan selalu rendah hati
meskipun masyarakat di sekitarnya bahkan saudara-saudaranya tak menerima
kepercayaannya. Meskipun ia memiliki kepercayaan yang berbeda dengan
keluarganya, orang tuanya justru mendukungnya karena ia jauh lebih tenang dan santun
ketika mendalami apa yang ia yakini.
Buku ini menyajikan beberapa penggambaran surealis fantasi
tentang kehidupan Rara Wilis dan Suko serta cerita wayang. Hal-hal realistis
yang cukup mendetail tentang penggambaran suasana pada novel ini juga mengalir
dengan baik. Bahkan tentang keyakinan Ahmadiyah sendiri diungkapkan lebih
detail sehingga yang mulanya memiliki pemahaman atau stigma yang buruk terhadap
Ahmadiyah menjadi lebih empati dalam melihat apa yang orang lain percayai.
Ketika membaca novel ini, kita seolah diajak untuk berdialog dengan mereka yang
berbeda dengan kita. Saya cukup menikmati dialog-dialog dari berbagai sudut
pandang baru dari novel ini.
Membaca hal-hal tabu yang diangkat dalam Anak Gembala yang Tertidur Panjang di Akhir
Zaman bukan untuk mencari pembenaran atau menyalahkan suatu hal, namun
justru membuka pandangan terhadap sesuatu yang berbeda tanpa kekhawatiran akan
pengaruhnya terhadap apa yang telah kita yakini. Saya rasa itu yang menjadi
definisi empati.
Melalui sebuah peristiwa yang luar biasa ganjil sekaligus menentang hukum alam serta akal sehat, seorng manusia keluar dari mulut Babi Lumpur yang akhirnya menghembuskan napas terakhir itu; manusia dewasa yang meraung-raung kesakitan, atau ketakutan. Tubuhnya telanjang dilapisi cairn kental bening-kekuningan dengan aksen kemerahan. Manusia itu menarik diri, menggunakan kedua sikut untuk beringsut keluar dari dalam Babi Lumpur. Setelah berhasil meloloskan diri dari moncong babi, ia meringkuk dan menangis di atas tanah, seperti bayi yang baru lahir tetapi tidak mendapati orang tuanya. Ia bergidik dari ujung rambut sampai ujung kaki, memeluk dirinya sendiri dalam rasa gamang yang teramat sangat. Ia tak tahu di mana dirinya berada, apa yang baru saja terjadi, siapa dirinya.
Seketika, dari balik rerimbunan pohon di tepian sungai, muncul sosok tinggi besar berjubah merah yang datang menghampiri manusia babi barusan. Sosok itu tidak menjejak, tidak pula menampakkan kulitnya, melayang saja seperti selimut merah yang melingkupi makhluk tak kasat mata. Dari dalam corong jubah yang merupakan bagian lengannya, meluncur sebilah mata pedang panjang dan tajam. Manusia Babi mendongakkan kepala. Matanya memelotot melihat sosok merah itu. Getaran-getaran badannya jadi semkin hebat.
Suko …, Dia telah menuntutmu suatu maut, maka matilah engkau, mati …. (hal. 265-266)
Review Anak Gembala yang Tertidur Panjang di Akhir Zaman, Resensi Anak Gembala yang Tertidur Panjang di Akhir Zaman
Sesekali berkunjung ke Blog, terus semangat ya
ReplyDeleteSetelah saya baca, saya mengira bahwa Rara Wilis ini adalah versi masa lalu nya Suko Djatmiko. Hal ini berdasarkan pada bab terakhir novel ini, "sebuah pertanggungjawaban atau semacamnya". Pada bab tsb, penulis bertemu dengan sosok Suko yg menceritakan masa lalunya, dan mengenalkan nya kepada sahabat lamanya yaitu pak Slamet atau Mety.
ReplyDeleteTerimakasih banyak untuk tulisannya :)
ReplyDelete