Kedekatan Cerita dan Relasi pada Malam Terakhir



Malam Terakhir merupakan kumpulan cerita pendek karya Leila S. Chudori yang dihimpun dari beberapa cerpen dengan latar belakang cerita yang berbeda—seperti kumpulan cerita pendek pada umumnya. Sebelumnya, saya membaca kumpulan cerita pendek lainnya berjudul 9 Untuk Nadira yang kini telah berganti judul Nadira. Pada 9 Untuk Nadira, Leila memberikan variasi baru dengan memberikan satu latar belakang yang sama dalam sembilan cerita pendek yang berbeda.

Malam Terakhir menyajikan cerita-cerita yang kuat secara personal dengan gaya penceritaan imajinatif dan sureal. Pada Sehelai Pakaian Hitam misalnya, mengintepretasikan warna pakaian atas pilihan seseorang dalam bersikap dan sukarnya menjadi diri sendiri. Sedangkan pada Paris, Juni 1988 begitu menarik dengan penggambaran seseorang dengan kegairahannya saat melukis. Penggunaan diksi pada karya Leila selalu menarik dan memberikan kesan yang mendalam sehingga kekuatan kedekatan cerita begitu terasa ketika di baca. Ungkapan metafor dan kolaborasi karya sastra atau kisah lain yang mendukung cerita dikemas apik oleh Leila. Cerita pendek Adila dan Keats menjadi salah satu cerpen kolaboratif dari buku pengarang dan karya sastra lain.

Dan walau hidup serba sengsara, namun masih saja setia di jalannya yang keras,[1] merpati di pojok pesawat menyanyikan bait-bait puisi John. (Cerpen Keats, halaman 76)

Terdapat cerita pendek yang mengangkat isu mengenai pilihan seseorang dan isu sosial yang dikemas secara hiperbola. Meski demikian, hal yang diangkat sangat berkaitan dengan realitas yang dirasakan di kehidupan sosial. Cerita pendek yang berjudul Malam Terakhir misalnya.

“Kau mau ikut menyaksikan pertunjukan kesenian itu, Sayang?’Anak gadis itu memandang ayahnya. Ia sudah berganti pakaian tidur dan siap menelentan di atas tempat tidurnya yang berseprai licin, “Pertunjukkan kesenian apa, Papa?”“Ah, ah, pasti kamu sudah lupa lagi. Di lapangan besok, kau akan menyaksikan pertunjukkan seni akbar, Sayang. Persis seperti melihat mamamu menggantung ikan asin di dapur. Perbedaannya: Mama menggantung ikan; kita akan menggantung aktivis yang bersalah. Persamaannya, setelah beberapa hari seluruh lapangan akan penuh dengan bau anyir,” ayahnya tersenyum. (Cerpen Malam Terakhir, halaman 112)

Kumpulan cerita pendek yang dihimpun oleh sembilan cerpen ini memiliki kedekatan relasional pada judul Untuk Bapak dan Air Suci Sita. Bila Untuk Bapak banyak menceritakan kedekatan seorang anak dan bapak layaknya kekaguman sang anak pada tokoh Bhisma pada epos yang diceritakan sang bapak, Air Suci Sita lebih menggambarkan pandangan terhadap ‘kehormatan’ lelaki dan perempuan yang dianggap berbeda di masyarakat. Uniknya, kedua cerita ini juga menyertakan epos yang berbeda untuk menggambarkan kondisi yang sama.

Cerita pendek Ilona dan Adila berisi keputusan personal. Bila Ilona menceritakan keputusan seorang perempuan untuk memiliki keturunan tanpa menikah atas kemauannya, Adila justru membuat keputusan dari dorongan teman imajinasinya—yang merupakan tokoh pada buku yang dibacanya—juga dilatarbelakangi tekanan ibunya. Cerita yang personal lainnya adalah Sepasang Mata Menatap Rain yang mengungkapkan kejujuran seorang anak kecil terhadap realita atas perbedaan kelas.

Dalam beberapa hal yang menjadi cerita di dalam Malam Terakhir, saya selalu mengingat perihal yang disampaikan dosen sastra saya, bahwa banyak hal di dalam realita kehidupan memiliki nilai yang jauh berbeda dengan nilai yang kita pegang. Bahwa perbedaan nilai tersebut seharusnya membuat kita lebih menyadari bahwa setiap keputusan itu baik dalam sisi yang berbeda.

Membaca karya Leila cukup menambah khazanah pengetahuan mengenai karya sastra internasional dan epos tradisional dari yang ia selipkan pada ceritanya. Hal tersebut membuat cerita pendek pada Malam Terakhir mengandung makna yang kaya. Namun, cerita yang dibawa tidak begitu berat sehingga hal yang diangkat terasa begitu dekat. Beberapa cerita menyajikan jeda untuk kita berkontemplasi. Terdapat banyak hal yang tak hanya sekadar hitam dan putih.



[1] Sajak “Tentang Mati” oleh John Keats, penyair Inggris awal abad ke-19, diterjemahkan oleh Taslim Ali dalam bahasa Indonesia


Review Malam Terakhir Leila S.Chudori, Resensi Malam Terakhir

Comments

Popular posts from this blog

Contoh Balasan Surat Pribadi

[Review Produk] Cuka Apel Tahesta, Produk Lokal Murah Menghilangkan Jerawat

Sahabat Pena