Soe Hok-Gie di Mata Orang-orang Terdekatnya


Saya mengagumi sosok Soe Hok-Gie lewat peran Nicholas Saputra dalam film Gie yang digarap oleh Miles Film, buah tangan dari Mira Lesmana dan Riri Riza. Tentu siapa pun yang telah menyaksikan penokohan Gie dalam film dicerminkan sebagai sosok mahasiswa kritis yang cukup dingin dan sinis. Film tersebut saya saksikan ketika masa SMA. Di bangku perkuliahan, dunia menayangkan gejolak politik yang ada di kampus. Persis dengan apa yang dirasakan Gie. Bedanya, angkatan Gie adalah angkatan mahasiswa yang negerinya baru saja merdeka. Gejolak politik di Indonesia saat itu tentu membuatnya sangat kritis, karena berbagai keributan begitu dekat dengannya di Jakarta hingga godaan terbesar dalam hidupnya adalah membaca buku-buku bagus.

Semasa hidupnya, Gie merasakan kemerdekaan, ideologi yang tidak konsisten, pelanggaran HAM terbesar dalam sejarah Indonesia, hingga pergantian presiden untuk pertama kalinya. Gejolak tersebut 27 tahun bergelombang di sekitarnya. Membaca banyak buku membuat pikirannya terbuka. Ia melawan berbagai kesalahan yang banyak tak disadari orang-orang di sekitarnya, ia kritis terhadap ketidakadilan dan kekuasaan. Gie sangat menghargai kemanusiaan, tanpa peduli perbedaan ideologi dan pandangan orang-orang yang dirampas haknya dengan dirinya.

Namun Gie tetaplah anak muda. Membaca satu diantara serial Tempo ini tidak membuat saya bosan karena bahasanya yang berat. Mungkin akan saya rasakan bila membaca tulisan Gie di berbagai kolom, seperti kata teman-temannya, “Terlalu tinggi bahasa Gie.” Namun seperti judulnya, Gie: Dan Surat-surat yang Tersembunyi, buku ini membahas surat-surat kepada temannya hingga kekasihnya. Saya merasakan bahwa gairah muda dapat melintasi waktu meski kultur popnya berbeda setiap zamannya. Membaca surat-surat Gie rasanya seperti mendengar Gie bercerita langsung kepada saya dengan bahasa gaul Jakarta.

Selain beberapa surat, buku ini juga membahas kehidupan Gie berdasarkan kacamata teman-temannya, kekasihnya, hingga kerabatnya. Berbeda dengan film, Gie ternyata merupakan sosok ceria yang sangat cerewet. Berdasarkan keterangan dari Mira Lesmana, penggambaran Gie pada film adalah citra yang hendak ia ungkapkan mengenai pemikiran kritis Gie. Dalam hal ini, tak heran jika secara penokohan sosok tokoh nyata dan filmnya berbeda. Namun di balik kritisnya pemikiran Gie, ia juga jenuh. Penghilang rasa jenuhnya adalah naik gunung bersama teman-temannya.

Kehidupan Gie dan teman-temannya di kala muda tentu sama dengan kehidupan kawula muda saat ini—mengikuti perkembangan kultur pop. Gie senang menonton film dan mendengarkan musik. Perkembangan populer yang ia ikuti tak hanya sebagai penghilang jenuh sejenak selain naik gunung, namun ia jadikan sarana untuk berdiskusi bersama rekannya bahkan menjadi bahan perbincangan dalam suratnya. Tak hanya itu, kecerdasannya juga membawanya terbang ke Amerika untuk pertukaran pelajar. Gie sangat mengikuti perkembangan sosial politik tak hanya di Indonesia, bahkan Amerika dan dunia.

Kritisnya Gie dapat dikatakan nekat. Tulisan-tulisannya banyak yang mengecam para petinggi, mulai dari pimpinan organisasi kampusnya hingga penjabat negara bahkan Soekarno sekalipun. Hal yang selalu saya ingat adalah kegeramannya melihat orang miskin yang memakan kulit mangga yang dilempar orang di dekat Istana Negara saking kelaparannya. Sementara ia menduga, mungkin Presiden Soekarno sedang tertawa dan makan-makan dengan para istrinya yang cantik-cantik. Bermula dari catatan hariannya yang kemudian dibukukan Catatan Seorang Demonstran, Gie juga melawan kesalahan yang dilakukan guru-gurunya semasa SMP hingga romo-romo di SMA-nya—tentang sekolah yang didominasi anak-anak pejabat.

Pemikiran Gie tumbuh bersama perasaannya yang tak bisa diam berlama-lama melihat ketidakadilan, kecurangan, hingga ketidakmanusiaan. Kehidupannya sebagai keturunan Tionghoa kelas bawah terkadang membuatnya dipandang sebelah mata di kehidupan asmaranya. Namun hal tersebut justru membuatnya berempati dan turut berjuang dalam keadilan dan kemanusiaan. 

Kecerdasan Gie membuat saya sangat mengaguminya. Mungkin akan lebih baik bila saya membaca buku-bukunya, Catatan Seorang Demonstran dan Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan. Ketika saya mengagumi sosok-sosok yang hidup di awal kemerdekaan hingga pertengahan kemerdekaan, hal yang saya soroti adalah hiburan mereka yang juga mencerdaskan mereka—film dan buku. Mungkin semangat Gie akan membuat saya untuk mengurangi jam intens menggunakan internet tanpa tujuan. Karena untuk menjadi pribadi yang cerdas, perlu untuk meninggalkan hal yang sia-sia.

Resensi Gie Dan Surat-surat yang Tersembunyi, Review Gie Dan Surat-surat yang Tersembunyi

Comments

Popular posts from this blog

Contoh Balasan Surat Pribadi

[Review Produk] Cuka Apel Tahesta, Produk Lokal Murah Menghilangkan Jerawat

Sahabat Pena