Surat 1: Membandingkan


“Membandingkan kesukaran dan kesenangan orang lain dengan diri sendiri tak akan ada habisnya.”

Begitu kiranya sebuah kalimat yang muncul begitu saja dari alter dalam diri saya. Saya kira saya hanya mencoba untuk menulis untuk mengingatkan orang lain. Saya menyadari alam bawah sadar saya tengah menegur apa yang terjadi dalam diri saya beberapa waktu belakangan ini. Terlalu dini jika saat ini saya tengah mengalami quarter life crisis, karena saya belum menginjak usia seperempat abad. Kiranya krisis yang tengah saya alami adalah krisis sebelum menginjak kepala dua.

Tahun 2019 menyisakan banyak warna yang begitu abstrak bagi hidup saya. Banyak keputusan yang saya ambil dan saya perbuat di luar zona nyaman dan zona aman saya. Semua itu berpengaruh pada diri saya—mental saya. Tidak, saya tidak self-diagnosis kesehatan mental apa yang sedang saya alami. Hanya saja, beberapa waktu belakangan emosi saya mudah sekali terombang-ambing dalam sebuah masalah. Di tengah kesibukan sebagai mahasiswa yang berusaha untuk aktif dan sebagai pribadi yang selalu ingin produktif, kerap kali saya sukar membedakan masalah internal dan eksternal.

Saya mudah tertawa, mudah marah, dan mudah menangis belakangan ini. Hal yang saya alami ini selalu menjadi bahan tawa untuk lingkungan saya yang tidak melek kesehatan mental. Saya maklumi. Saya maklumi mengapa mereka menertawakan segala hal yang selalu membuat saya tersinggung. Terlalu banyak hal yang membuat saya insecure sepanjang tahun ini, mulai dari hal “remeh” seperti bentuk tubuh dan kondisi kulit wajah sampai hal yang cukup rumit seperti hubungan sosial dan kondisi dompet.

Saat emosional saya berubah mendadak, ketika orang menanyakan penyebabnya, mulailah saya meracaukan sebuah perbandingan, “Aku kurang begini, tidak seperti ini,” atau “Aku sudah begini, kenapa hasilnya tidak begitu.” Sayangnya, baru hari ini saya menyadari bahwa membandingkan segala sesuatu tiada habisnya jika saya terus menerus merasa tidak puas. Alih-alih mengingatkan diri demikian, saya justru sebelumnya hendak mengatakan kalimat tersebut kepada orang lain. Namun saya mengajak kamu yang membaca ini untuk menyadari bahwa membandingkan derita kita terhadap orang lain yang tengah ditimpa masalah bukanlah hal yang bijak. Penderitaan dan kebahagiaan tiada ukuran yang absolut, sejatinya.

Mengenai ukuran tersebut seringkali saya katakan untuk mengingatkan diri sendiri usai berbicara mengenai masalah saya kepada seorang sahabat. Saya selalu berusaha menyempatkan untuk bercerita dan refleksi mengenai apa yang terjadi dalam diri saya. Beruntung, yang mendengarkan saya adalah orang yang tepat. Sesekali saya belajar mengenai cara mencintai diri sendiri. Dari kondisi yang kerap merasa insecure, ternyata hal yang saya lakukan adalah bentuk terkecil dari self-love—makan makanan sehat dan tidur untuk meredamkan emosi misalnya. Alih-alih membuat perbandingan, solusi terbaik dalam menghadapi segala insecurity dalam diri adalah bersyukur dan mencintai diri sendiri. Saya rasa begitulah simpulan dari masalah ini.

Menulis ini sejenak menenangkan diri saya. Masalah yang tengah saya hadapi memang tidak akan selesai jika saya hanya menulis, karena ada hal lain yang perlu diusahakan. Setidaknya, aksi terkecil yang saya buat hari ini adalah meredamkan segala emosi saya untuk lebih tenang. Setelahnya barulah saya dapat menyelesaikan beberapa hal dengan kepala dingin dan dengan kondisi tubuh yang lebih segar.

18.37 WIB
22 November 2019

Comments

Popular posts from this blog

Contoh Balasan Surat Pribadi

[Review Produk] Cuka Apel Tahesta, Produk Lokal Murah Menghilangkan Jerawat

Sahabat Pena