Media Tanpa Misoginis
Dari
akhir 2018 hingga saat ini, saya cukup mengikuti perkembangan isu mengenai
perempuan dan saya akhirnya berdamai dengan beberapa hal yang tidak saya
setujui sebelumnya. Satu diantara alasan saya berdamai adalah saya menyadari
bahwa saya sebagai manusia perlu menghargai manusia lainnya.
Untuk
memahami berbagai isu kesetaraan—terutama tentang perempuan—sering kali saya
dapatkan lewat diskusi di podcast dan
youtube. Untuk literatur mengenai hal
tersebut, saya baru membaca dari kacamata teori sastra dan novel-novel yang
berkaitan dengannya—karena kebetulan saya berkuliah di program studi yang
mempelajari hal tersebut. Momen nonton bersama film dokumenter yang bertajuk More Than Work karya Luviana, seorang
pekerja media, menjadi satu diantara jalan saya untuk lebih memahami isu
kesetaraan di dunia nyata. Karena dalam sesi nonton bersama ini, kami akan
berdiskusi dengan Dian Lestari—Koordinator SEJUK Kalbar—dan Tuti
Suprihatin—dari LBH APIK Kalbar—setelah menyaksikan film tersebut.
Film
More Than Work ini menayangkan
keresahan Luvi dengan media yang tidak ramah terhadap perempuan, seorang
penyintas kekerasan seksual yang berjuang melaporkan kasus yang melibatkan
dirinya dan atasan media tempat ia bekerja, perjuangan Kumalasari mengikuti selera
pasar media televisi dengan mengubah penampilannya, perjuangan seorang
transgender yang tidak diberi peran di media, hingga kelompok Sindikasi yang
memperjuangkan hak buruh termasuk pekerja media.
Film
ini dibuka dengan wawancara terhadap para freshgraduate
yang ingin melamar bekerja di media. Mereka begitu antusias karena kekaguman
dan idealisme mereka dalam memandang pekerjaan media serta keinginan yang besar
untuk menjadi bagian dari media tersebut. Setelahnya, divisualisasikan beberapa
judul berita dan potongan acara televisi yang tampak mengobjektifikasikan
perempuan. Kemudian hal ini menjalar hingga pekerja media itu sendiri.
Alur
film ini menunjukkan kacamata Luviana yang melihat sisi gelap media sebagai
seorang pekerja yang terjun di dalamnya. Mulanya divisualisasikan Luvi
mewawancarai seorang perempuan pekerja media yang dilecehkan oleh atasannya.
Visualisasi film mulai berkembang dengan perjuangan korban dalam menyuarakan
keadilan yang tidak berpihak kepadanya dan segala terpaan berbagai stigma di
sekitarnya. Babak dilanjutkan dengan Kumalasari, seorang aktor yang berjuang
mendapatkan tubuh dan kecantikan “ideal” karena gerah didiskriminasi di dunia
hiburan tempatnya bekerja. Babak selanjutnya memvisualisasikan ketidakadilan
yang dialami kaum LGBTQ yang ditebas habis hak berekspresinya. Babak terakhir
menunjukkan beberapa aktivis melakukan aksi saat MayDay dalam memperjuangkan hak buruh dan pekerja media adalah satu
diantaranya.
Film
ini banyak mengangkat isu tentang ketidakadilan, diskriminasi mulai dari sosial
hingga hukum, dan stereotip yang melekat pada perempuan. Setelah film selesai, diskusi
dibuka dengan pendapat dari satu diantara narasumber, yaitu Dian Lestari.
Sebagai seorang pekerja media, Dian tak begitu heran dengan kondisi media hari
ini. Dian memahami bahwa untuk mengokohkan media tentu perlu sokongan dana yang
besar, dan satu diantara cara untuk terus mendapatkan dana adalah menyajikan
tulisan yang menarik bagi pembaca. Tidak hanya soal gaya hidup dan keributan
yang terjadi saja, hal-hal yang berbau ketubuhan dan perempuan begitu cepat
menaikkan jumlah klik. Jumlah klik yang meningkat tentu akan meningkatkan
pendapatan pula untuk media daring tersebut. Maka tak heran, arah media justru
menjurus ke eksploitasi perempuan. Tak bisa dipungkiri bahwa pangsa pasar dapat
mengalahkan idealisme sebuah media sekuat apa pun idealisme yang mereka pegang.
Hal ini begitu mengkhawatirkan bagi Dian dan ia juga tak begitu bisa melawan
hal tersebut. Namun, Dian sendiri kagum dengan sebuah media bertajuk Magdalene, media yang pernah saya dengar
namanya ketika sang founder diundang Kejar Paket Pintar dalam podcast mereka. Magdalene dikagumi karena menyajikan tulisan yang ramah perempuan.
Kini Dian begitu tegas untuk melawan isu kesetaraan gender dan ketidakadilan
media dan dunia kerja media itu sendiri.
Setelah
Dian, Tuti kemudian mendapat giliran untuk mengungkapkan pendapatnya setelah
menonton film More Than Work. Karena
terlambat dan hadir ketika film sedang diputar, Tuti memahami kasus pertama
sebagai pelecehan verbal. Hal tersebut tidak masalah bagi saya karena
kemungkinan besar beliau menyaksikan berbagai stigma yang menimpa korban
tersebut. Saya cukup mengagumi bagaimana Tuti memahami berbagai isu perempuan
karena profesinya yang dua puluh tahun lebih bergelut di dalam Lembaga Bantuan
Hukum. Ketika membicarakan soal isu perempuan dan media, Tuti menyoroti soal
betapa media begitu mendesak korban untuk menunjukkan identitasnya untuk pangsa
pasar mereka. Hal ini disebabkan karena masyarakat kita belum begitu memahami
hak dari korban sebuah kasus, terutama kasus kekerasan seksual.
Dalam
melaporkan kasus kekerasan seksual, unsur kekerasan dan unsur ancaman dapat menjadi
bekal untuk seorang korban mengajukan hal tersebut kepada pihak berwajib. Dalam
menyuarakan hal ini, Tuti menyoroti adegan ketika korban bolak-balik dari satu
kantor ke kantor lainnya untuk menuntut atasannya. Untuk menuntut keadilan
terhadap kasus kekerasan seksual, korban perlu keberanian yang cukup sehingga
korban memerlukan pendampingan. Dari berbagai kasus memiliki pendampingan yang
berbeda-beda bergantung latar belakang kasus tersebut. Selain membantu korban
agar berani menyuarakan kasusnya, pendampingan ini juga akan membantu meredakan
perasaan emosional korban karena sering dilontarkan pertanyaan yang menyudutkannya
sebagai korban dan pelapor.
Tak
ada sedikit pun kata feminisme keluar dari mulut pembicara maupun peserta yang
datang malam itu selama saya berada di ruangan tersebut. Namun saya paham betul
bahwa Dian dan Tuti adalah seorang feminis karena selama perjalanan hidupnya
mereka merasakan ketidakadilan yang dialami perempuan. Dian yang memiliki latar
belakang bekerja di media memahami alasan terbesar objektifikasi perempuan
lewat judul artikel yang clickbait
karena kebutuhan realistis untuk meningkatkan rating dan penghasilan demi
menunjang media itu sendiri. Dian juga memahami bahwa mendirikan sebuah media
tidak bisa hanya bermodalkan idealisme saja. Namun memang sangat disayangkan
bahwa media hari ini selalu menayangkan hal-hal yang mengobjektifikasi
perempuan. Sedangkan Tuti memiliki latar belakang bekerja di Lembaga Bantuan
Hukum seringkali membantu korban KDRT hingga kekerasan seksual. Tuti tahu betul
bahwa di Kalimantan Barat tentu hanya sebagian kecil saja korban yang mau
mengakui bahwa mereka seorang penyintas dan melaporkan kejadian tersebut.
Melaporkan dan meminta pendampingan dari LBH tentu perlu keberanian karena rape culture yang erat di Indonesia.
Selanjutnya
moderator, Feliani, membuka pertanyaan dari penonton. Pertanyaan paling catchy malam itu adalah soal sikap kita
terhadap LGBTQ yang dilarang dalam agama apa pun. Pertanyaan ini dijawab oleh
Dian dan Luvi—kreator film More Than Work.
Dian menjawab pertanyaan tersebut dengan singkat dan seksi. Dalam agama apa
pun, hal yang ditinggikan didalamnya adalah kemanusiaan. Baginya, kita boleh
saja tidak setuju dengan prinsip kaum LGBTQ, namun kita perlu menjadi seorang
manusia yang memperjuangkan hak manusia lainnya—termasuk kaum LGBTQ.
Bagi
Luviana, dalam perspektifnya di film ini adalah LGBTQ merupakan warga negara
karena Indonesia bukan negara agama dan mereka memiliki hak sebagai warga
negara untuk dilindungi. Kelompok minoritas manusia saat ini tak hanya agama
dan suku bangsa saja, orientasi seksual juga masuk diantaranya dan minoritas
memiliki hak yang sama dengan minoritas lainnya. Dalam film More Than Work, ada cuplikan adegan yang
menunjukkan aksi terhadap ketidaksetujuan terhadap peraturan KPI yang tidak
ramah terhadap minoritas LGBTQ. Di sini Luvi menegaskan bahwa KPI merupakan
sebuah lembaga yang cukup diperjuangkan media agar media tidak begitu diurusi
otoriter pemerintahan sebelum 1998 (baca: Orde Baru). Namun ketika reformasi,
KPI yang seharusnya berperan memperjuangkan hak minoritas di media justru
menjustifikasi bahwa LGBTQ adalah hal yang buruk. Padahal saat ini—saat
peraturan tersebut dikeluarkan—adalah era reformasi.
Sebelum
menutup teleponnya, Luvi mendapat pertanyaan soal definisi perempuan dan
laki-laki dari penanya yang sama. Sejak lahir, setiap manusia dengan gendernya
masing-masing dijustifikasi dengan maskulinitas dan feminitasnya. Masing-masing
dari pengelompokan tersebut memiliki stigma dan standar masing-masing, seperti
laki-laki harus kuat dan tidak boleh cengeng, perempuan harus cantik dan putih,
dan sebagainya. Satu diantara hal yang ingin disuarakan Luvi dalam film yang
dibuatnya adalah bagaimana perempuan dieksploitasi lewat objektifikasi dan
judul yang tidak ramah dalam tulisan yang menerangkan kasus kekerasan seksual
yang korbannya adalah perempuan. Demikian juga dengan generalisasi gender pada
media yang tampak pada justifikasi terhadap karakter seorang laki-laki yang
maskulin hingga perempuan dengan justifikasi pada standar kecantikannya.
Pertanyaan
selanjutnya adalah mengenai bagaimana sikap hukum terhadap kekerasan seksual.
Dalam menjawab hal ini, Tuti lebih dipercaya karena pengalamannya dalam menanggapi
berbagai kasus dalam pendampingan sebagai pekerja di LBH APIK Kalimantan Barat.
Di sini kita harus mengartikan bentuk pelecehan itu sendiri, yaitu verbal dan
fisik. Lagi-lagi satu diantara yang membuat korban sulit melaporkan adalah stigma
masyarakat kita yang masih rape culture—menyalahkan
korban. Kasus ini mudah tenggelam karena ditutup-tutupi dengan dalih takut
menjadi aib keluarga dan sebagainya. Selain itu, kekuatan hukum juga tidak
begitu memihak korban, sehingga satu diantara hal yang diperjuangkan adalah
pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Bagi Tuti,
hukum harus berdiri tegak untuk keadilan.
Pengalaman
saya berada di forum “dunia nyata” yang membahas tentang feminisme cukup
memuaskan saya. Forum diskusi film itu ditutup dengan seksi oleh kedua
narasumber.
Untuk menyetarakan gender, kita harus bisa memahami perbedaan kodrat dan gender. Kodrat perempuan bukanlah kasur, sumur, dapur, tetapi menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Untuk memahami perbedaan tersebut, satu diantaranya adalah dengan banyak membaca dan mendalami isu yang berkaitan dengannya. (Dian Lestari)
Kontraksi sosial adalah satu diantara penyebab kodrat di asumsi masyarakat awam lebih dari menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Karena kekuatan patriarki dalam sejarah kita, kasur, sumur, dapur justru dianggap sebagai kodrat perempuan. Jangan pernah menilai sesuatu sebelum anda mengetahui apa itu. (Tuti Suprihatin)
Comments
Post a Comment