Pengalaman Selama Menjadi Penggalang Ramu "Senior"

Selama tiga tahun jadi salah satu murid di SMP N 1 Singkawang, aku masih saja menjadi "senior" yang masih berstatus sebagai Penggalang Ramu. Seperti yang dikatakan Pak Pujo, kepala sekolah sebelumnya yang "pakar" soal Pramuka, tiga tingkatan Pramuka Penggalang: Ramu, Rakit, dan Terap, memiliki arti tersendiri. Ketika di lengan kirinya terjahit TKU Ramu, maka saat itu ia sedang dalam tahap meramu segala hal tentang kepramukaan. Ketika ia mengalami peningkatan menjadi Penggalan Rakit, maka ia sedang mencoba merakit kepramukaan yang sudah diramunya. Jika sudah dirakit, ketika ia mengalami peningkatan menjadi Penggalang Terap, maka ia wajib menerapkan hal-hal tentang kepramukaan yang telah ia ramu dan telah ia rakit. Dan jika ia bisa mempertanggungjawabkan segala hal yang telah ia ramu, ia rakit, dan ia terapkan, maka satu apresiasi tertinggi yang diharapkan seluruh anggota Pramuka Indonesia akan diraihnya, yaitu menjadi Pramuka Garuda.

Aku selalu berpikir untuk meningkatkan TKU ku menjadi Rakit. Tetapi, selalu saja banyak halangan disekitarku. Terkadang aku "sedikit" malu. Karena pada gugus depan lainnya, "mereka" yang seusia dengan adik kelasku sudah memiliki TKU dengan tingkatan yang lebih tinggi.

Namun, sesuatu mengiang di pikiranku. Bagaimana bisa seorang Penggalang yang masih meramu sepertiku, melatih para junior? Bukankah aku sejatinya bisa menerapkan segala yang kupelajari jika aku sudah menjadi terap?
Mau bagaimana lagi, pada saat itu kami kekurangan orang untuk membantu melatih junior. Syukurnya, sekarang mulai ada peningkatan di gugus depanku. Tak genap setahun lagi, umurku sudah layak untuk menjadi anggota Penegak.

Tetapi, keistimewaan menjadi seorang penggalang membuatku semakin jatuh cinta dengan organisasi ini. Aku bagaikan ulat. Segalanya membuatku bermetamorfosis menjadi kupu-kupu. Bukan karena penampilanku yang menjadi semakin "indah", tetapi aku kini dapat mengukir segala prestasiku di bidang kepramukaan, meski tak seluas teman-temanku (para admin Meme Comic Pramuka Indonesia).

Jika kutulis segala hal yang kualami pada saat penggalang, mungkin bisa sebesar kamus. Aku mempelajari cara menghadapi berbagai situasi "perasaan" selama menjadi penggalang. Tabu, pertemanan, cinta, asa, kegagalan, keberhasilan, dan kerjasama. Segala hal tersebut memerlukan proses yang tak mudah, layaknya menciptakan seekor kupu-kupu dari dalam kepompong.

Mungkin, gugus depan kami terpandang "rendah" oleh gudep lainnya. Ada satu cerita dari Kak Rena, super senior yang merupakan pratama putri sebelumnya, saat Panji Camp 2013, ia bertemu salah satu peserta dari gudep yang berbeda. Ketika ia bertanya nama gudep kami dan dijawab oleh Kak Rena, ia bertanya lagi, "Jadi gudep itu masih ada?". Tentu saja, telinga Kak Rena panas mendengarnya. Itu terbukti dari air muka dan cara ia menyampaikan cerita tersebut.

Walaupun terpandang "rendah", rasa bak nano-nano tetap ada. Seperti yang kukatakan pada dua paragraf sebelumnya.

Langkah awalku mengikuti Pramuka di SMP adalah impianku sejak masih SD. Saat itu, Pramukanya lumayan rame. Aku mengikuti Pramuka sejak duduk di kelas 4 hiugga kelas 5. Sejak bersama kakak kelas dan adik kelas. Pramuka saat itu terkesan seru, tetapi sejatinya kurang menarik. Tapi dari keseruan itu, aku percaya di SMP nanti, akan jauh lebih seru dan menarik.

Pada saat aku duduk di kelas 7, aku kembali mengikuti kegiatan Pramuka yang wajib semester pertama. Pada akhir semester pertama, diadakan seleksi Panji Camp, sesuai bakatnya dalam kepramukaan. Saat itu, aku menguasai semaphore. Dan yang pertama kali merekomendasikanku adalah Kak Dwi dan Kak Rena, yang saat itu masih duduk di bangku kelas 8.

Tapi pada saat pelatihan, aku hanya menjadi pemegang soal. Tapi tak masalah. Ketika si penerima soal tidak datang latihan karena sibuk urusan acara natal (saat itu sekitar Bulan Desember), akulah yang menggantikan posisinya ketika latihan. Walaupun, aku tak dapat menguasai seperti Deli, penerima semaphore putra.

Pada saat lomba, baru pertama main sudah kalah. Wajar saja, kami masih junior saat itu. Yang lainnya sudah memiliki TKU Ramu, Rakit, Terap, kami masih kosong. Namun satu hal yang kurang kusukai saat itu, aku tak memiliki teman saat itu.

Pada saat itu, kami hanya dilatih oleh para super senior. Mereka yaitu Kak Ageng, Kak Mega, Kak Nurul, Kak Rendy, Kak Gilang, Kak Baruna, Kak Meidy, Kak Ferry, Kak Elsa, dan dua kakak yang lupa namanya. Ada juga super senior yang terkadang datang memantau kami, salah satunya Kak Baskara.

Pada saat semester kedua, Bu Minda, guru pembimbing Pramuka, memperkenalkan kepada kami pembina baru. Awalnya, para senior takut karena menurut isu, pembinanya garang. Aku santai saja saat itu. Dan, ketika kita semua meet up, ternyata dia orangnya asyik. Namanya, Kak Egi.

Berkat Kak Egi, para junior bisa menjadi Penggalang Ramu dan senior kelas 8 bisa menjadi Penggalang Rakit. Bersama Kak Egi, kami tak hanya menganggap ia sebagai "kakak", tetapi kami menganggapnya sebagai "teman" yang asyik diajak berbicara. Ia juga hobi menulis. Dan jujur, aku jatuh cinta banget sama karya tulis beliau yang selalu disajikan dalam bentuk status di Facebook. Dan, begitulah ia sebagai seseorang yang melankonlis-pesimis, katanya.

Pada saat kelas 8 semester pertama, kami semua benar-benar siap dalam mengikuti Panji Camp. Kali ini, kami lebih serius latihan. Masing-masing berlatih sesuai lomba yang mereka ikuti. Kehadiran Kak Egi membuat segalanya terasa ringan. Ia melatih baris-berbaris kami hingga kompak, melatih kami dalam semaphore, membuatkan naskah pidato bahasa inggris, dan lain sebagainya. Ada suatu ketika ia mengalami kecelakaan dan tidak hadir dalam latihan beberapa hari, kami berlatih sama-sama. Saat itu, Kak Ageng memang selalu hadir saat Kak Egi ada dan berhalangan hadir.
Saat itu pula, aku bersama Nurul, temanku yang dari kelas 7 mengikuti semaphore, yakin bahwa kami akan menang.

Ketika Panji Camp dimulai, aku mengikuti upacara pembukaan dan pingsan. Ini benar-benar masalah. Aku tidak sempat makan siang, itulah penyebabnya. Aku ditemani Kak Septi & Bang Thiwa, kedua seniorku. Kak Septi telah membawakan sepiring nasi untukku. Saat itu, dua orang super senior gugus depan Panji menemani kami di UKS. Ternyata salah seorang darinya, Kak Dodi, adalah super senior Andema juga! Kami benar-benar senang mendengarnya. Tetapi kesenangan kami mengobrol dengannya pecah mendengar suara dari luar. Pertanda peserta lomba science panji harus berkumpul. Aku cepat-cepat menghabiskan nasiku, kembali ke tenda mengambil id card, dan berkumpul ke lapangan basket.Saat itu, aku ketinggalan membawa pulpen, dan harus meminjam dengan adik kelasku, Wulanda, yang juga mengikuti lomba di jadwal yang sama, yaitu lomba sandi.

Sekembalinya dari lomba, Kak Aini, seniorku, bertanya bagaimana soalnya. Aku sedikit kesusahan saat mengerjakannya. Tetapi kukatakan, lumayan. Kalau tidak salah, aku yang pertama kali selesai hahaha.

Dua hari kemudian, aku kembali mengikuti lomba semaphore. Saat babak pertama, kami menang. Babak kedua , kami tidak bermain. Ketika babak ketiga, kami didiskualifikasi. Dan penyebabnya adalah aku. Nurul menangis saat itu. Aku menjauhi diri dari mereka semua. Aku tahu, mereka saat itu sedang "marah" denganku, walaupun tidak dalam bentuk singgungan. Tetapi aku tahu dari wajah mereka.

Di tenda, aku disinggung habis-habisan. Aku tak bisa berkata apa-apa. Hanya beberapa senior yang bisa mengerti perasaanku. Seperti Kak Septi, Kak Rena, Kak Ismi, dan Kak Aini. Mereka percaya masih ada harapan untuk kami, Andema.

Pada saat hari terakhir, aku bernafas lega. Aku meraih piala juara 1 science panji putri dan seniorku meraih juara 3 science panji putra. Aku benar-benar bersyukur. Setidaknya, membuat mereka berbeda tabiat dari sebelumnya.

Kelas 8 semester kedua, Kak Egi tidak lagi bersama kami. Tapi masih berkomunikasi. Maka saat itu, Kak Ageng yang melatih kami bersama juniornya di sekolah, Kak Rohman, yang merupakan super senior Siraka.

Sampai kelas 9, Kak Ageng yang sibuk melatih Gudep Raden, perannya dialihkan oleh Kak Rohman. Bersama Bang Didin, yang merupakan super senior kami, mereka melatih kami untuk Panji Camp "terakhir"ku di Penggalang.

Tapi, ini benar-benar tahun teraneh. Awalnya tambahan hanya murid kelas 7. Tiba-tiba, muncul anak Pramuka "karbitan" yang tak pernah Pramuka sekalipun diajak ikut Panji Camp. Beruntung, mereka jadi peninjau dan dibatalkan untuk ikut. Bagaimana mereka meninjau kami jika asal mulanya mereka bukan bagian dari kami? Rasanya aneh. Memang di sekolah, mereka lebih "lama" dari para murid kelas 7 yang sudah diseleksi secara langsung oleh Kak Beni (pembina kami hingga sekarang). Tetapi jika mereka bukan bagian dari kami, Gudep Andema, pasti sulit menerima.

Panji Camp waktu itu pertama kalinya sejak kuikuti tahun 2012, baru kali ini kami tidak turun mengikuti lomba TUP (Tata Upacara Pasukan), karena para personil sering terhalang oleh jadwal les. Khusus lomba TUP memang lebih sering latihan dari yang lainnya, karena memerlukan kekompakan dalam baris-berbaris.

Ketika waktu semakin dekat, Kak Ageng kembali hadir karena Gudep Raden tidak turun. Ia membantu kami mempersiapkan diri untuk berkemah, terutama untuk para pemula, seperti murid kelas 7.

Pada hari pertama, kami berangkat menggunakan pick up. Kami mendirikan tenda di bawah pohon. Letak yang strategis membuat kami tak kepanasan karena matahari "terhalangi" oleh rindangnya pohon. Saat sedang asyik memasang tenda bersama yang lainnya, seseorang memanggil namaku. Ternyata Anisa, peserta Tundang dari SMP N 7 Singkawang. Kami berbincang sebentar lalu melanjutkan pekerjaan

Ketika yang lainnya upacara, aku membaca sedikit pelajaran geografi untuk limba science panji. Setelah diingatkan bahwa peserta sudah berkumpul, aku memasang kacu dan id cardku. Tak lama memang karena tenda kami tepat di depan lapangan basket. Tapi rasanya, dilihat peserta lain jadi kelihatan kudis (kurang disiplin).

Soalnya susah banget. Di dokumen undangan dituliskan pelajaran kelas 7 dan 8. Ternyata ada kelas 9. Untuk pelajaran semester pertama, tak sulit bagiku. Ketika soal semester kedua, yang baru kuketahui ternyata soak deret aritmatika, aku pusing tujuh keliling. Benar-benar susah. Dan kali ini, solanya tak bisa dibawa pulang. Kalau bisa, lumayan buat muroja'ah.

Usai lomba, aku mencari temanku, Elka dari MTs N Singkawang. Aku mau bertanya mengapa ia tak ikut science panji tadi, karena namanya sudah terdaftar. Lalu kami ngobrol sambil berjalan-jalan mengelilingi area Smansa.

Malamnya malam minggu. Pada saat maghrib, ketika aku bersama teman-temanku hendak berwudhu, air wudhu yang disediakan musholla habis. Jadi kami berkeliling mencari sumber air. Aku berwudhu di rumah orang yang berada di depan areal SMA N 1 Singkawang. Disitu, aku sempat bertemu dengan Kak Egi. Kukira, ia jadi pergi snorkling. Untuk menghemat air dan waktu, aku menjaga wudhu sampai sholat Isya beberapa saat setelah sholat Maghrib.

Usai Isya, aku keluar area dan ke rumah yang juga warung di depan gerbang Smansa. Disana, aku bersama Kak Egi, Hilman, dan Bang Thiwa ngobrol hal-hal ringan. Dari hal-hal konyol yang mengocok perut hingga cerita yang terkesan "tenggang". Saking tegangnya, seorang anak perempuan disampingku mematung mendengarnya. Lumayanlah guyonan malam Minggu.

Tak lama kemudian, aku dan teman-temanku berkumpul di teras musholla. Katanya sih, tasku basah karena hujan tadi membasahi isi tenda. Gara-gara keasyikan ngobrol, sampai tak terdengar guyuran hujan tadi. Jadi pada saat itu, kami membahas tentang hujan dan tenda. Masing-masing putra dan putri diberi bekal HaTe alias Handy Talky untuk menghubungi satu sama lain.

Hari kedua, aku lebih sering di tenda. Aku dan teman-temanku juga menyaksikan Tata Upacara Pasukan dan Tata Upacara Ambalan dari setiap gudep. Aku mendokumentasikan beberapa gudep dengan merekamnya menggunakan ponselku. Hujan tiba-tiba turun deras. Aku masih saja merekam para peserta. Tak lama kemudian, aku kembali ke tenda karena baterai ponselku hampir habis.

Sesampainya di tenda, adik kelasku yang duduk di kelas 7 dan 8 saat itu, sibuk memindahkan tas dan membersihkan tenda. Tenda tak hanya basah, tapi juga kotor. Kami tak tahu akan tidur dimana malam itu. Setelah kami menunggu, akhirnya kami tidur di kelaa malam itu. Bersama kakak-kakak dari gudep Pattraka. Awalnya, kukira hanya anggota putri saja. Ternyata putra dan putri. Ini super duper parah banget. Tapi ya... kalau tak demikian, bagaimana kami akan tidur nanti?

Kami bersyukur kelasnya cukup luas. Tetapi malam itu hanya berjaga jarak, masih "gabung". Tapi jadi asyik juga. Mainnya pasti bareng. Kalau main kartu, saking ramainya, tiap pemain hanya kebagian dua kartu.

Keesokan harinya, aku gak jelas berkeliling sendirian di area Smansa. Melihat tenda-tenda dan sesekali bertemu teman lama. Sempat pula aku membeli minuman. Ketika mencari tempat yang enak untuk minum, aku melihat kumpulan anak lelaki yang kukenal. Ya, mereka dari SMP N 1 Pontianak! Yang kuingat namanya hanya Reda dan Hendi. Tapi yang pertama kulihat temannya yang berbadan gemuk. Kuhampiri mereka. Awal bertemu mereka, aku hanya bertanya temannya Angger atau bukan. Angger juga teman sekolah mereka yang kukenal karena ia juga admin MCPI. Ternyata benar. Bahkan tanpa memberi tahu nama, mereka sudah tahu namaku. Rahma Fadhila. Bahkan ketika berbicara, salah satu dari mereka bukan menyebut namaku Rahma seperti orang yang baru kenal biasanya,tapi dengan sebutan Dhila. Kalau tak salah demikian. Karena aku sedikit lupa.
Mereka mengikuti Panji Camp bergabung dengan SMA N 4 Pontianak. Karena gudep dari sekolah mereka sendiri tidak turun serta dalam acara ini. Tetapi gudep mereka sudah diberi undangan dari panitia.

Tak lama, Bang Didin memanggilku karena ayahku datang! Aku segera menghampiri atahku yang datang bersama adikku, Ulfa dan Hashfi, juga adik sepupuku, Wisa. Mereka asyik menonton senam pramuka. Sementara aku memberikan baju kotorku ke ayah supaya tasku tak terlalu berat. Tak lupa aku meminta doa dari ayah agar aku bisa meraih juara lomba semaphore di tengah hari nanti.

Usai Dzhuhur, sekitar pukul 1 siang, kami berkumpul di lapangan upacara yang lumayan becek. Kami diberi pengarahan dan cek jumlah anggota tiap peserta. Aku masih bertahan pada sebuah tongkat semaphore ku dengan bendera yang tak terikat dengan kuat.

Pada saat perlombaan dimulai, Nurul, temanku yang menjadi pengirim pesan bertanya pasaku, "Nanti mengirimnya sama seperti itu atau bagaimana?" Ia bertanya tepat ketika dua gudep yang berbeda sedang bersaing. "Jangan, kita lakukan apa yang kita latihkan sebelumnya," jawabku.

Dua babak berhasil kami hadapi. Usai babak kedua, aku diberi tongkat semaphore dari Bang Didin sebagai pengganti tongkat semaphore ku sebelumnya. Ia khawatir bendera semaphore ku lepas dan akan menghadapi satu resiko yang sebelumnya pernah "menerkam" ku, yaitu diskualifikasi.
Saat itu juga, Bang Thiwa dan Kak Rohman yang memantau tim putra mengabarkan bahwa tim putra sudah dikalahkan oleh diskualifikasi. Aku mulai khawatir saat itu. Mereka mengharapkan kami, tim putri. Aku menenangkan diriku. Juga Anggie, si pemegang soal uang masih pemula. Ia sangat khawatir saat itu.

Perlahanu lewati para lawan. Setiap bertarung, kamu dihadapkan demgan tim yang cukup kuat. Tak satupun dari mereka yang kalah oleh diskualifikasi. Jika bukan karena kecepatan, pasti karena kesalahan pada 1 huruf.

Di babak final, tersisa gudep Andema dari SMP N 1 Singkawang, Siraka dari SMP N 20 Singkawang, dan Tsyara dari SMP N 3 Singkawang. Sistemnya, tiap gudep akan menghadapi dua lawan. Yang mendapat poin tertinggi, maka ialah pemenangnya. Yang mendukung kami cukup banyak. Yang mulanya hanya ada Kak Rohman, Bang Didin, Bang Thiwa, Verdy, Tri Cindra, dan Yunmeng, kini lebih banyak dari itu. Hampir dua tenda. Dari tim putri ada Dika, Ega, Wulan, Sherly, Wulanda, Devi, Nia, Alma, Salma, dan Eva. Dari tim putra ada Alif, Willy, Rival, Fery, Rian, Rezky, Arjuna, Diky, dan Rio. Tak hanya mereka, para panitia yang juga alumni SMP N 1 Singkawang, sedari tadi menyemangati kami. Mereka adalah Kak Ismi, Kak Vita, dan Kak Melly. Jantungku berdebar kencang. Lebih kencang daripada sebelumnya. Aku tetap menerima seperti yang kulatih sebelumnya. Dan ternyata, berhasil!

Aku tak kuasa menahan haru. Kupeluk Nurul dan Anggie dalam kebahagiaan. Perjuangan tiga tahun ini benar-benar tak sia-sia.

Piala Juara Satu Semaphore Putri
Panji Camp 2014
Malamnya adalah malam persahabatan. Kata Willy, "tanpa ada malam persahabatan pun, Kak Rahma udah ketemu sama banyak teman." Perkataannya membuatku gembira. Karena  aku lebih supel daripada sebelumnya. Pada malam persahabatan, aku bertemu kak Maysarah dari MAN Model Singkawang juga para alumni SMP N 1 Singkawang yang menjadi panitia Panji Camp. Ada pula Nandita dan Ica, yang turut hadir pada malam persahabatan. Belum selesai acara, aku sudah mengantuk. Jadi aku memutuskan untuk kembali ke kelas untuk tidur.

Keadaanku saat tidur seperti meja makan di Jepang, hahaha....

Hari terakhir, aku terbangun pukul 3 pagi. Ada Bang Nur, Kak Wulan, dan Bang Alex yang ternyata bukan terbangun, tetapi begadang. Karena aku hendak mengikuti upacara penutupan, aku mencari keberadaan sepatuku. Kemarin, aku lupa memasukkannya kedalam. Dan akhirnya aku hanya menemukan satu dalam kondisi terinjak. Tapi kemana sebelahnya?

Usai sholat Shubuh, aku kembali mencari dan sampai pagi dan tak ada hasil. Usai mandi pukul 8, aku memutuskan untuk meminjam sepatu temanku. Tak lama aku dipanggil oleh tim putra yang membawa sepatu sebelahku. Ternyata sepatuku ada disana, tepatnya tersangkut di kali sebelah tenda mereka. Aku heran, bagaimana bisa sampai kesana? Tapi aku tak peduli, yang penting ketemu!

Kami mengikuti upacara penutupan dan pembagian hadiah. Kami hanya mengikuti sampai sesi penggalang selesai. Lalu kami melanjutkan membenahi barang untuk pulang. Kami kembali ke sekolah dengan membawa sebuah piala. Aku sudah ditunggu ayahku saat itu. Jadi aku tak bisa membantu mereka membenahi barang ke dalam gudang.

...

Begitulah sekiranya pengalamanku ketika penggalang.Aku banyak cerita seputar Panji Camp karena hal seru banyak dari sana. Dan sebenarnya, ada juga acara lampion. Aku hanya mengikutinya waktu kelas 7 dan tim putri mendapat juara 3. Dan ketika kelas 8, aku tak mengikutinya karena baru sembuh dari sakit. Sedangkan kelas 9 gudep kami tak turun karena rutenya terlalu jauh.

Tapi semua ada hikmahnya dan kenangannya. Aku bahagia bisa bertemu dengan mereka. Masih banyak nama yang belum disebutkan disini. Maaf sebelumnya. Tetapi cerita ini bisa jadi bahan bacaan dan ruang nostalgia tersendiri untukku. Karena SMA nanti aku bersekolah di Pontianak. Aku berharap, aku berkesempatan untuk mendapat kenangan menjadi seorang penegak. Semoga.


NB : Maaf banyak typo, karena diketik melalui ponsel.


Comments

Popular posts from this blog

Contoh Balasan Surat Pribadi

[Review Produk] Cuka Apel Tahesta, Produk Lokal Murah Menghilangkan Jerawat

Sahabat Pena