Mendung...

Tepat pukul 12.00 siang──tengah hari, cahaya temaram dari gumpalan awan-awan menutupi matahari yang sedang bersinar terik saat itu. Di jalan yang sepi──di tengah-tengah perumahan tua, seorang laki-laki jakung berjalan.

Lelaki jakung bermata besar kecoklatan, beramput hitam pekat, berkulit sawo matang, dan berpakaian kaos putih polos itu, berjalan dengan perasaan penuh ke-putus asa-an. Rintik-rintik air mulai turun membasahi tubuhnya.

Tidak ada satupun orang yang memperdulikannya. Berbeda dengan seorang gadis berbaju kembang berwarna putih dan berpayung hitam yang berada di depannya──sekitar 100 meter. Tidak terlalu cantik. Lebih ke oriental. Mata hitam gadis berambut lurus yang dikucir kepang itu menghampiri lelaki tadi──dia sedang terduduk lemah.

Gadis itu berlutut membagi teduhan payungnya dengan lelaki putus asa itu. “Sok baik banget sih, kamu! Pergi! Tiggalin aku sendiri. Aku gak perlu orang-orang munafik!” Lelaki itu marah. Mengeluarkan semua amarahnya dengan kebencian-kebenciannya dengan orang-orang yang telah membuatnya menderita.

Gadis itu terdiam.
Dia hanya tersenyum dengan wajah yang penuh kedamaian. “Berdirilah” suara lembutnya sedikit menenangkan lelaki itu. Namun,

“Tidak! Aku lebih baik duduk. Aku malas berdiri. Dan aku malas berdiri dari semua masalah yang aku alami.”

Gadis itu membatin. Baiklah, jika itu maumu. Gadis itu kembali berlutut. Didekati bibir merah mudanya ke telinga lelaki itu. “Maaf ya”. Kemudian gadis itu kembali menghadap wajah lelaki itu dan menyodorkan tangannya. “Namaku Gita. Nama kamu?”

Sepertinya dia orang baik, gak semunafik yang aku kira. “Namaku Roni. Apa yang membuatmu ingin membantuku di sini?” Roni menjabat tangan Gita.

"Entahlah” Gita meninggikan bahunya. Namun, tak ada rasa penasaran dari Roni. Yah, setimbang dengan kata “bodo amat”.

Tangan Gita dingin, Padahal hujan gerimis. Dan air pun masih sedikit yang turun ke bumi. Tangan Roni sendiri saja masih hangat. Kok aneh ya? Apa jangan-jangan──lupakan. Tidak mungkin jam segini ada begituan. Roni membatin sambil menatap Gita. Tatapan mata Gita kosong. Seperti air tinta gurita yang bersih tanpa kandungan cairan atau benda lain.

***

Hujan rintik mulai mereda pada sore harinya. Namun langit masih gelap karena mendung──mendung karena hujan tidak lebat──mencurahkan seluruh air di dalamnya. Suasana hangat dan tenang terasa ketika Roni berada di rumah Gita.

Gita tinggal sendirian di rumahnya. Keluarganya──semuanya──pergi meninggalkannya. Beda halnya dengan Roni, dia diusir dari rumah. Anak kurang ajar, katanya. Sebenarnya, orang tuanya sendiri yang kurang peduli.

“Eh iya, Ron. Kamu punya teman?”

“Gak, Ta. Ngapain juga punya teman kayak yang di luar sana. Munafik semua.”

“Oh” Gita terdiam. Wajahnya terlihat begitu sedih. Ternyata nasibku lebih beruntung daripada Roni. Dia merenung.

“Lah, kamu kenapa, Ta? Tersinggung ya?” Roni bertanya dengan perasaan yang kurang enak.

“Gak kok. Sebenarnya──

“Sebenarnya apa?” Roni memotong pembicaraannya dengan Gita.

“Dulu aku punya teman. Tiap sore, dia selalu datang kesini. Tapi hari itu, hari gelap sekali. Matahari ditutupi dengan awan. Aku dan dia bersepeda ke jalan raya. Entah kenapa, dia ditabrak dengan mobil. 
Ya, mungkin saat itu, hanya dia temanku. Atau sahabatku.” Wajah Gita memerah. Dan akhirnya, menangis.

Roni mendekati Gita, “Jadi?”

“Aku benci mendung.”

“Baiklah. Hmm──

“Kenapa?”

“Kamu mau gak jadi temenku? Ya aku mau tau gimana rasanya punya temen.”

“Serius?”

“Serius lah. Kenapa nggak?”

“Makasih ya, Ron! Makasih banyak. Udah lama banget aku gak punya temen.”

“Kenapa harus makasih. Kan belum dinikmati pertemanannya.”

“Hehehe, gak apa-apa dong.”

***

Enak juga ya ngajakin Gita makan. Selama temenan sama dia juga gak pernah kayak temen ku yang dulu. Muak manggil mereka temen. Lebih ke “shit” kali. Munafik semua. “Kenapa kamu, Ron?” Gita membuyarkan pikiran Roni.

“Gak apa-apa. Udah selesai?”

“Udah. Kita pulang yuk.”

Roni dan Gita berjalan kaki untuk pulang. “Kamu duluan yang nyeberang ya, Ta. Aku mau beli minuman dulu.”

“Baiklah.”

Gita menyeberang. Terdengar di telinga Gita, tak ada kendaraan satupun. Dengan santai Gita menyeberang. Namun dari arah berlawanan, mobil lewat. Dan naas, mobil itu menabrak Gita. “BRAK!”

Roni yang mendengar suara hantaman keras itu beralik badan. Orang-orang telah mengerumuni di tengah jalan. Mobil itu pergi entah kemana. Roni mencoba mendekati kerumunan orang itu. Dia mencoba masuk ke dalam kerumunan orang itu. Semoga bukan Gita.

Roni shok setelah masuk ke kerumunan orang-orang tadi. Tubuh Gita penuh dengan simbahan darah. “Roni… kamu gak pergi kan” suara itu keluar dari bibir Gita. Lemah. Lemah sekali.

“Gak Gita, gak. Aku ada disini, gak akan pergi kemana-mana. Aku janji.”

“Maafkan aku, Roni. Aku gak bisa berjanji dengan kamu. Aku akan pergi.”

“Jangan pergi, Ta.”

“Sekali lagi aku minta maaf, Ron. Satu lagi, kamu jangan membenci mendung ya.”

Nafas Gita mulai terengah-engah. Dan matanya perlahan-lahan tertutup. Roni memeriksa urat nadi  di tangan Gita. Tak ada denyutan sedikitpun. Gita telah meninggalkan Roni untuk selama-lamanya. Dan hari itu, tepat pada saat mendung menghiasi langit.

Kematian Gita kejadiannya kurang lebih sama dengan kejadian sahabat Gita sendiri. Suatu saat nanti, saat aku memilliki teman, aku berharap, hal ini takkan terulang lagi.[]

Comments

Popular posts from this blog

Contoh Balasan Surat Pribadi

[Review Produk] Cuka Apel Tahesta, Produk Lokal Murah Menghilangkan Jerawat

Sahabat Pena