Permasalahan yang Dekat dalam Memilih Jalan Sunyi



Hidup dalam lingkaran yang minim permasalahan membuat saya hanya dibuai dengan permasalahan-permasalahan kota besar yang ditayangkan di televisi atau di media massa. Persoalannya tak jauh dari hal-hal makro yang turut mengancam putaran kehidupan yang pas-pasan. Tak jarang, persoalan-persoalan tersebut tak begitu relevan. Hal tersebut begitu saya rasakan sebelum menjadi mahasiswa.

Ketika menjadi mahasiswa, persoalan-persoalan semakin banyak dan kian dekat serta kian relevan dengan kehidupan. Mata yang sebelumnya buta dan telinga yang sebelumnya tuli dengan kenyataan perlahan dapat melihat dan mendengar lebih jelas segala permasalahan yang ada. Sebelumnya saya tidak menyadari bahwa orang-orang di sekitar saya memiliki jalan hidup yang sulit ia pahami ketika dewasa, terutama mengenai permasalahan yang terjadi pada kehidupan di kampung dan orang tuanya. Di Kalimantan Barat, perdebatan sumber alam dan kapitalis memicu berbagai permasalahan yang berkaitan dengan ekosistem lingkungan, sosial, hingga kemanusiaan. Tak jarang perlawanan mahasiswa dalam menyuarakan perihal tersebut juga mengalami pergolakan yang sama menariknya.

Membaca Memilih Jalan Sunyi membuat saya teringat pada sebuah diskusi yang membahas kumpulan cerita pendek yang berbeda, namun memberikan permasalahan lokalitas yang sama dan justru lebih dekat. Kumcer tersebut membahas tentang ketertarikan penguasa terhadap tanah di Kalimantan (bagian tengah seingat saya), baik di dalamnya (bauksit) hingga luas lahannya (untuk ditanami sawit). Diskusi tersebut diramaikan dengan cerita-cerita valid mengenai betapa penguasa daerah memiliki nama di atas kertas atas beberapa lahan hingga kehadiran perusahaan hendak “membangun” tanah di Kalimantan Barat—dihubungkan dengan relevansi pada ulasan cerita-cerita pendek malam itu. Cerita-cerita yang dibawakan Gusti Eka dalam buku ini membuat saya deja vu karena menyajikan persoalan-persoalan yang dirasakan orang-orang “kecil” dan menyuarakan perlawanan yang terdengar sunyi. Deja vu tersebut tak hanya disebabkan diskusi pada suatu malam itu, namun juga relevan dengan situasi politik kampus saat ini.

Dalam Orang Ketiga yang Sakit Akalnya, terdengar suara kritis dari seorang intelektual—terutama di kampus—dalam menanggapi kebakaran hutan dan menyalahkan para peladang yang membakar tanaman ketika membuka lahan. Masih dengan persoalan hutan, Hutan Tembawang menyuarakan perjuangan seorang pria yang menjaga Hutan Tembawang yang merupakan warisan orang tuanya dan menjaga ekosistem di dalamnya di tengah dilematis lahan yang telah dikelilingi sawit perusahaan. Pada akhirnya, kedua cerita tersebut diakhiri dengan sabotase. Hutan dan tradisi—perlakuan “yang dianggap salah”—terhadap hutan membuat keadilan tidak berpihak kepada mereka yang memekik menyuarakan dan memeluk kebenaran.

Menjadi buruh di tanah sendiri sangat keras disuarakan Perempuan Melankolia dan Arwana Merah. Manusia menjadi tak begitu berharga dibandingkan silok. Stroke yang dialami suami Leila akibat kecelakaan saat merawat silok tak begitu berharga di mata sang juragan. Ketidakseimbangan lainnya dirasakan dalam Riak-riak Sungai Mandor yang airnya tak dapat digunakan lagi oleh manusia di sekitarnya pada saat musim kemarau.

Potret permasalahan lingkungan, sosial, dan kemanusiaan tak jarang diwarnai dengan idealisme. Ketika terdapat perbedaan disertai ketakutan pada masa lalu, akan selalu ada cerita Juliana Kehilangan Pradana lainnya—kisah cinta yang tak direstui “NKRI harga mati”. Perjuangan mengungkapkan keburukan masa-masa memperjuangkan reformasi atas tanggung jawab terhadap kematian  “anak-anaknya” pada Aku Pergi Mati tak kunjung menemukan titik terang pada masa keterbukaan terhadap media. Bekal idealisme tersebut menciptakan berbagai bentuk perlawanan mahasiswa terhadap beberapa kasus permasalahan yang merugikan diri dan banyak orang. Mahasiswa bergerak menyuarakan apa yang tak dapat diungkapkan masyarakat lainnya. Dengan penuh kesadaran, para mahasiswa memperpanjang suara perjuangan. Bentuk perjuangan dan perlawanan tersebut disuarakan dalam beberapa judul: Bukan Hanya Duduk Manis di Bangku Kuliah; Bangun, Protes, Tidur, hingga Memilih Jalan Sunyi. Satu judul lainnya—Nyanyian Para Jalang—mengungkapkan keresahan mengenai isu kemanusiaan.

Membaca Memilih Jalan Sunyi sejenak akan mengingatkan kita bahwa banyak urgensi berkaitan dengan lingkungan dan ekosistem di Kalimantan Barat. Mungkin banyak dari kita larut dalam buaian media pusat yang terus menggali isu-isu besar. Tentu hal tersebut dapat membuat kita lupa bahwa justru ada isu besar di balik asap yang tiap tahun kita hirup. Ada pula isu besar di balik banjir yang kian meninggi di bumi kita. Di balik isu yang hanya sepintas terdengar tersebut, mungkin mengancam kehidupan pribadi kita atau orang-orang terdekat kita.[]


Review Memilih Jalan Sunyi Gusti Eka, Resensi Memilih Jalan Sunyi

Comments

Popular posts from this blog

Contoh Balasan Surat Pribadi

Sahabat Pena

Apa yang Kita Tinggalkan di Ruang Publik Dunia Maya?