Jadikan Aku Sahabat Surgamu
Bimbang.
Segala kegalauan sekiranya telah mengganggu berbagai aktivitasnya. Hanya satu
permasalahan dan segalanya menjadi kacau. Leher tercekat. Di ujung pelupuk mata
telah deras oleh air mata. Hanya dua tapak tangan yang membantu menutupi
kebimbangannya. Walaupun segala kemuakan itu masih berkecamuk di rongga dada.
Dua
mata melihatnya dari jarak jauh. Dua mata itu tertarik pada masalah orang lain,
meskipun dirinya sedang ditimpa masalah yang sampai saat ini ia tutupi.
Simpatik. Ia selalu senang melihat orang lain tersenyum.

Dua
mata itu bersugesti pada motorik jasadnya. Ia memulai langkahnya dengan irama
gesekan dedaunan kering dan sepatu putihnya. Berisik, ditambah klakson-klakson
kendaraan di jalan. Setidaknya kebisingan itulah yang menyamarkan langkah-langkah
kakinya.
Ritme
isakannya membuat getaran bagai telepati. Syabia, dengan dua matanya yang
sedari tadi memandang iba tampaknya tak bisa memulai. Tidak bisa memulai karena
dedaunan yang hijau, tak selalu siap untuk gugur. Namun, bagaimana jika
dedaunan muda itu dicabut? “Jangan menangis,” Syabia memulai dengan menepuk
pundak gadis itu. Gadis yang terpuruk dengan segala bimbangnya.
Air
mata tetap mengalir. Namun rasa tercekat di tenggorokannya perlahan hilang. Dua
kata dalam satu kalimat itu, berhasil menghiburnya.
“Maaf,
aku memang cengeng.”
“Tak
masalah. Boleh aku duduk disebelahmu?”
“Silahkan.”
Syabia
duduk di sebelah gadis itu. “Laras. Larasati. Kelas X-C."
“Bia.
Syabia. Kelas X-A. Sepertinya kamu baik dalam memulai.”
“Ya.
Tapi aku tidak baik dalam mengakhiri.”
“Dan
kau memiliki masalah dengan kata ‘mengakhiri’ itu, kan?”
“Bisa
dibilang demikian.”
Ah,
rasanya nyaman apabila masing-masing sudah bisa menebak. Walaupun, tidak
terlalu spesifik. Karena masing-masing diri memiliki kebutuhan untuk memendam
dan bersembunyi.
Larasati,
nama yang indah itu sepertinya tergores oleh masalah tiada ujung. Seorang
sepertinya tidak akan lupa akan masalah kecil sekalipun. Terutama bila masalah
tersebut membuat namanya tercoreng di mata-mata sinis para ‘pendengar’.
“Cinta
agaknya sudah membutakan. Kesalahpahaman agaknya sudah membungkam
pemberontakan.”
Laras
menatap kosong sepatu kelabu kusamnya. Menyandu kata-kata sehingga yang ia
ungkapkan tak dipahami siapapun yang mendengarnya. “Laras, istighfar. Kau boleh
saja senantiasa mengungkapkan kata-kata tersebut. Tapi kau telah tenggelam
terlalu dalam.”
Kemudian
sayup-sayup kumandang adzan Ashar. “Laras, ikuti aku ke Masjid sekarang,”
Syabia meraih tangan Laras yang layu.
***
“Apakah
kau berkenan menceritakan masalahmu?”
Kalimat
itu memecah suasana sepi pada shaf wanita, setelah satu jam usai adzan Ashar
berkumandang. Sudah beberapa lembar kalamullah dibaca merdu oleh dua gadis itu.
Saling bersahutan, mengagungkan Maha Pendengar. Air wudhu yang kering
tergantikan air mata di ujung mata. Haru. Sedih mengingat dosa pula.
Laras
tampak lebih tenang, walaupun masih kelu lisannya untuk berbicara saat itu. Dia
masih diam seribu bahasa. Hingga akhirnya, ia kembali memulai dengan jawaban.
“Sepertinya, iya. Namun aku tak bisa mengungkapkannya sedetail yang aslinya.
Hanya sebatas garis besar.”
“Kalau
demikian, kau berkenan menceritakan masalah yang berat di punggungmu itu?”

“Sekarang,
apa kau merasa lebih baik sebelumnya?”
“Kurasa
demikian. Ngomong-ngomong, aku ada urusan diluar. Aku harus pergi sekarang.”
“Boleh
minta kontakmu?”
“Tentu
saja.”
***
Laras
dan Syabia menjalin hubungan persahabatan mereka dengan baik dalam waktu yang
cukup singkat. Perlahan, perasaan galau Laras mulai hilang seiring pertemuannya
dengan Syabia. Hari-hari Laras kini diisi dengan keceriaannya bersama Syabia.
Namun hari itu tepat saat rapat organisasi di sekolah, wajahnya yang senantiasa
ceria tampak pucat. “Ras, kamu sakit?”
“Cuma
pusing biasa, kok.”
“Tapi
kamu mampu, kan?”
Laras
mengangguk. Mereka melanjutkan rapat mengenai agenda kedepan. Masing-masing
dari tim menyampaikan pendapat mereka untuk menjadikan agenda tersebut memberi
kesan pada peserta. Setelah semua selesai dirangkum dan disetujui oleh semua
tim, rapat agenda saat itu ditutup.
Syabia
berbasa-basi dengan Laras sebelum pulang. “Ras, pulang barengan, yuk.”
“Aku
dijemput Umi, Sya.”
“Kalau
begitu, aku duluan, ya. Assalamualaikum.”
“Wa
alaikumussalam.”
Belum
jauh Syabia ke parkiran sekolah, Maryam memanggilnya dengan tergesa-gesa.
“Bia!”
“Ada
apa, Maryam?” kening Syabia mengkerut.
“Bantu
hubungi Umi Laras, Bia. Laras pingsan di sekretariat.”
“Masya
Allah! Temani aku kesana.”
Syabia
dan Maryam tiba di sekretariat. Umi sudah ada disana. Para anggota organisasi
bahu-membahu ke dalam mobil. Syabia mengikuti mobil Umi dan Laras dari
belakang.
Setelah
kejadian itu, Laras absen hingga seminggu lamanya. Syabia semakin khawatir dengan
kondisi Laras. Ia menjenguk Laras di rumahnya.
Syabia
datang ke rumah Laras dan disambut hangat oleh Umi. Ia membawa puding coklat
kesukaan Laras. “Umi, Laras sedang tidur?”
“Iya,
tapi nanti dia juga bangun. Mari kita ke kamarnya.”
Laras
tinggal berdua dengan Umi. Abinya sudah wafat dua tahun yang lalu dalam
tidurnya. Syabia sangat senang berkenalan dengan keluarga sederhana ini.
Walaupun terkadang, ia perlu kesabaran mnghadapi kegalauan Laras yang datang
bersamaan dengan kelabilannya.
Ketika
Umi membuka pintu, Syabia terkejut. “Subhanallah.... Afwan, Umi, boleh kita
keluar sebentar?
Umi
hanya mengangguk. Ia menyadari betapa terkejutnya Syabia. “Umi minta maaf,
Syabia. Tapi, Laras yang meminta Umi untuk tidak mengabarkannya kepada
siapapun. Kamu jangan khawatir, kondisi Laras sudah mulai membaik. Dia sedang
dalam pengobatan kemoterapi.”
Syabia
tak bisa berbicara apapun selain menangis. Lisannya kelu mendengar keterangan
dari Umi. Ia juga sedih mengingat wajah pucat Laras dan kepala botaknya. Air
mata sudah mengalir di ujung matanya. Umi menyeka air mata Syabia. “Syabia
harus kuat. Laras anak semata wayang Umi. Umi yakin Laras juga sahabat baikmu.
Tapi kamu jangan sedih, kasihan kalau Laras dengar.”
Umi
tak meneteskan air mata sedikitpun. Beliau benar-benar seorang ibu yang kuat.
Perlahan, Syabia mulai menguasai diri dari kesedihan ini. Ia yakin, Laras pasti
sembuh. Laras kini memerlukannya saat ini.
“Umi,
kanker apa yang menggerogoti kesehatan Laras?”
“Leukimia,
Syabia.”
***
Setiap
hari di sekolah, Syabia merasa kosong. Ia selalu memikirkan kondisi Laras
sekarang. Namun ia kembali bersemangat sepulang sekolah. Seperti yang setiap
hari ia lakukan, ia membawa roti selai kacang untuk Laras.
Ketika
di rumah Laras, Syabia diajak ke taman oleh Laras. “Sudah baikan ceritanya?”
“Aku
rindu dengan matahari. Mungkin, bisa semakin baik kalau matahari dan kamu
menemaniku siang ini.”
“Jadi,
roti selai kacang ini tidak?”
“Tentu
saja, roti selai kacang yang lebih penting diantara keduanya.”
Tawa
mereka memecah. Ah, Laras merasakan hari-harinya lebih bermakna dengan
kedatangan Syabia setiap hari. Cukup menghiburnya saat melawan penyakit yang
terus menggerogotinya.
Tak
hanya hari itu, Syabia hadir disaat Laras membutuhkannya. Walaupun ada Umi,
Syabia tetap berkeyakinan bahwa Laras tak hanya membutuhkan Umi, Laras juga
membutuhkannya.
Syabia
ada disaat Laras merasakan kesakitan yang amat sangat pada suatu hari. Syabia
juga ada disaat Laras tak bangun dari tidurnya selama tiga hari. Syabia
menemani Laras ketika melakukan kemoterapi. Syabia penyemangat Laras.
“Laras,
aku banyak belajar dari kamu. Aku teringat sebuah hadist riwayat Imam Bukhari
dan Ibnu Abbas, ‘Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat
sehat dan nikmat waktu senggang’. Jujur, aku adalah orang yang menyia-nyiakan
waktu. Perkenalanku denganmu membuatku belajar, betapa berartinya kesehatan dan
waktu luang itu.”
Laras
tersenyum lembut. “Aku teringat dengan sebuah kisah ketika seorang bertanya
pada seorang sahabat, Ali bin Abi Thalib. Orang tersebut bertanya berapa
sahabatnya, karena orang tersebut melihat para sahabat Ali bin Abi Thalib
begitu setia. Namun yang dikatakan Ali bin Abi Thalib, ia akan menghitung
jumlah sahabatnya ketika ia tertimpa musibah. Jika aku adalah Ali bin Abi
Thalib, maka kamu sahabatku. Sahabat yang selalu mengingatkanku akan kebaikan.”
Syabia
juga tersenyum mendengar ungkapan sahabatnya. Kemudian mereka saling
berpelukan. Syabia merasakan dinginnya tubuh Laras. Laras berbisik, “Sya, bila
aku di neraka nanti dan kamu masuk surga, kuharap kau mengingatku. Aku ingin
bersamamu di Jannatullah.”
Syabia
membalas bisikan Laras, “dan seandainya aku di neraka nanti, kuharap kau juga
mengingatku, Ras. Aku ingin menjadi sahabatmu di dunia dan di Jannah-Nya.”
***
Seiring
berjalannya waktu, Laras mulai membaik. Sebulan setelah perawatan kemoterapi,
dengan semangatnya Laras menjemput Syabia untuk berangkat sekolah dengan sepeda
mereka. “Sya, sudah siap?”
“Tentu
saja.”
“Bismillahirrahmanirrahim.
Semoga hari ini kita dapat ilmu yang bermanfaat. Tholabul ‘ilmi fii sabilillah,
insyaa Allah!”
“Masya
Allah, semangat sekali, Ras. Insyaa Allah!”[]
Comments
Post a Comment