Mencintai dan Konsekuensinya: Hujan Bulan Juni
Mencintai seseorang memang tak perlu konsekuensi,
kecuali ketika kedua insan tersebut ingin saling memiliki. Konsekuensi yang
dihadapi dua insan tersebut juga tak lekang oleh berbagai tantangan. Dalam hal
tersebut, Sarwono dan Pingkan harus berpisah karena Pingkan harus melanjutkan
pendidikan ke Jepang dari beasiswa yang diterimanya. Hal dilematis yang
dihadapkan Sarwono dan Pingkan tidak hanya mengenai hubungan jarak jauh yang
akan mereka tempuh. Hal tersebut cukup banyak diungkapkan dalam Hujan Bulan Juni.
Sarwono dan Pingkan merupakan akademisi yang bekerja
di universitas yang sama. Dalam Hujan
Bulan Juni, beberapa hal mengenai situasi yang dihadapi akademisi ketika
melakukan penelitian atau perjalanan kerja cukup menjadi daya tarik. Tak hanya
itu, Sarwono dan Pingkan yang sama sekali tidak berpacaran dan hanya “kode-kode-an”
untuk menikah selalu membawa suasana cerah dalam setiap babaknya.
Hujan Bulan Juni tak hanya mendeskripsikan mengenai kehidupan
akademisi—terutama yang dihadapi Sarwono dan Pingkan—yang disibukkan dengan
penelitian yang melelahkan sekaligus menyenangkan, namun juga mengenai
keberagaman dan identitas. Pingkan memiliki seorang ayah dari Medan, sedangkan
ibunya memiliki latar belakang yang cukup rumit—lahir di Makassar dan hidup
lama di Jawa. Pingkan mengakui dirinya seorang Jawa kepada nyaris semua orang,
terutama Sarwono. Namun identitas kuat sang ayah tak dapat ia lepaskan apabila
berinteraksi langsung dengan keluarga besarnya.
Krisis identitas yang dihadapi Pingkan ternyata
memiliki pengaruh besar dorongan orang-orang terdekatnya atas pilihannya,
terutama dalam memilih pasangan hidup. Keluarga ayahnya menginginkannya
mempertahankan identitas Manado, sedangkan sang ibu menuruti kemauan Pingkan
yang mau terus bersama Sarwono yang Jawa. Berbeda dengan Pingkan, Sarwono juga
bimbang dengan begitu kuatnya identitas Jawa pada keluarganya sehingga sesekali
keluarganya juga ragu untuk merestui Sarwono yang hendak menikahi perempuan
non-Jawa. Belum lagi Rumah Tuhan mereka juga berbeda.
Hal-hal dilematis mengenai perbedaan dan krisis
identitas seperti tiada habisnya antara Sarwono dan Pingkan. Di antara berbagai
permasalahan tersebut, yang membuat saya tak berhenti tersenyum adalah polah
Sarwono dan Pingkan yang terus mengungkapkan cinta hingga keinginan menikah
tanpa mengatakan atau melakukan sebuah komitmen. Namun sejatinya, komitmen
tersebut telah mereka ketahui satu sama lain—tanpa perkataan dan perbuatan.
Bahwa kasih
sayang beriman pada senyap. (Halaman 45)
Review Hujan Bulan Juni Novel, Resensi Hujan Bulan Juni
Comments
Post a Comment