Kronologi dalam Berbagi Perspektif RUU-PKS dan Dialog Klarifikasi BEM Untan (Universitas Tanjungpura)
Babak 1
Sekretariat Lembaga Pers Mahasiswa Universitas
Tanjungpura
20.00 WIB, 26 September 2019
Hasil
dari audiensi aksi yang dilakukan seluruh mahasiswa di Kalimantan Barat,
khususnya di Pontianak mengundang kontroversi dari banyak pihak. Pasalnya, pada
poin keempat pada Nota Kesepakatan berisi penolakan terhadap Rancangan
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual atau yang lebih dikenal dengan RUU
P-KS. Beberapa mahasiswa yang mengikuti aksi pada saat itu mengatakan bahwa
memang persoalan RUU P-KS ini memang pecah di antara mahasiswa dan diyakini
tidak sesuai dengan urgensi #MosiTidakPercaya yang digaungkan pada beberapa
aksi di berbagai daerah di Indonesia. Mahasiswa di Pontianak, khususnya
Universitas Tanjungpura merasa bahwa BEM Universitas Tanjungpura tidak
menunjukkan wajah dan suara mahasiswa yang berada di bawah naungannya. Oleh
karena itu, LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) Universitas Tanjungpura menginisiasi
untuk mengadakan Mimbar Terbuka: Berbagi Perspektif
Tentang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) agar pihak yang menyetujui
pengesahan RUU P-KS dan pihak yang menolaknya saling memahami alasan
masing-masing pihak.
Di luar ekspektasi LPM, mahasiswa yang hadir dalam mimbar terbuka tersebut begitu banyak dan nyaris mencapai 200 orang. Dari ratusan mahasiswa tersebut, mereka tak hanya berasal dari Untan (Universitas Tanjungpura), di antara mereka juga ada yang berasal dari IAIN (Institut Agama Islam Negeri), Polnep (Politeknik Negeri Pontianak), dan kampus lainnya baik negeri maupun swasta. Tidak hanya mahasiswa, pihak yang profesinya tak lagi mahasiswa pun hadir untuk mengetahui apa saja yang menjadi urgensi dalam aksi dua hari sebelumnya, yaitu pada tanggal 25 September 2019.
Acara
tersebut kemudian dibuka oleh Sekar, Ketua LPM Untan dan dilanjutkan dengan
Mita, sebagai moderator dalam diskusi berbagi perspektif ini. Sebagai
penginisisasi acara, LPM membuat peraturan selama acara berlangsung agar
berjalan tertib. Kemudian, dijelaskan bahwa akan ada tiga sesi pada mimbar
bebas ini: pertama, mempresentasikan konteks alasan hadirnya RUU P-KS; kedua,
pernyataan dari pihak pro dan kontra; dan terakhir, diskusi bebas.
RUU
P-KS hadir karena banyaknya kasus kekerasan seksual di Indonesia berdasarkan
data dari tahun 2001 hingga saat ini. Pada saat itu sudah direncanakan
pembentukan RUU P-KS, namun baru terwujud pada tahun 2015. Tentu disini, yang
terdata hanyalah korban-korban yang melapor, di luar itu masih banyak korban
yang tidak melaporkan karena alasan kondisi masyarakat kita yang masih rape culture. RUU P-KS hadir untuk
mengatur mengenai bentuk kekerasan seksual.
Sebelum
sesi pertama, dijabarkan alasan-alasan secara garis besar. Alasan mengapa ada
yang mendesak pengesahan RUU P-KS (berdasarkan urgensi Mosi Tidak Percaya dan
berbagai aksi lainnya seperti Women March
Indonesia). Orang-orang yang paling diuntungkan adanya UU P-KS ini adalah
semua korban kekerasan seksual. Selain itu, RUU P-KS juga hadir untuk mencegah
korban menjadi pelaku ke depannya. Sedangkan alasan mengapa RUU P-KS ditolak
pengesahannya disebabkan oleh adanya pasal-pasal multitafsir, yaitu pada pasal
12, pasal 15, pasal 18, dan pasal 19. RUU P-KS ini juga diduga menyimpang dari
ajaran agama di Indonesia.
Sesi
pertama dibuka oleh Feliani yang menjabarkan jumlah korban kekerasan seksual di
Pontianak, yang didapat dari Polresta Pontianak yang dilansir oleh LBH APIK
Kalimantan Barat. Jumlah korban meningkat setiap tahunnya. Keberadaan RUU P-KS
menjadi penting berdasarkan konteks, urgensi, dan dampaknya dalam menyikapi
kasus kekerasan seksual di Indonesia. Secara konteks, RUU P-KS sudah menyajikan
banyak hal mulai dari bentuk kekerasan seksual, sanksi yang berlaku untuk
pelaku kekerasan seksual, hingga pendampingan untuk korban. Dari konteks
tersebut, tentu urgensinya disebabkan karena semakin banyaknya kasus kekerasan
seksual yang diabaikan dan tidak ditindaklanjuti lebih lanjut karena tidak ada
payung hukum yang cukup untuk melindungi korban. Beliau mengambil contoh pada
kasus Agni yang sudah jelas pelecehan seksual, namun pelaku masih diberi
lindungan hukum dan Agni tidak mendapatkan keadilan. Apabila RUU P-KS disahkan,
dampak terbesarnya adalah semua korban akan dilindungi dan mendapatkan
keadilan.
Setelahnya
sesi kedua dibuka dengan pernyataan dari pihak kontra. Hal ini karena pihak pro
tidak begitu memahami apa yang membuat pihak kontra menolak RUU P-KS. Menurut
pembicara pertama pihak kontra, ketika
RUU P-KS dikaji lebih mendalam, masih ada ketimpangan dan RUU ini masih
bermasalah. Jika RUU P-KS dianggap baik-baik saja, tentu dari pihak pusat tidak
membiarkannya begitu saja dan pasti sudah disahkan hari ini. Menurutnya
pasal-pasal yang bermasalah kebanyakan ada kata “pemaksaan” di depannya
sehingga beliau menyimpulkan apakah jika hal tersebut tanpa pemaksaan, apakah
diperbolehkan dan dilegalkan? Dalam hal ini, beliau menyebutkan yang disorot
adalah pasal yang dianggap multitafsir dan disebutkan juga masih banyak
definisi yang bermasalah dalam pasal-pasal RUU P-KS.
Dari
pembicara pertama pihak pro, beliau tidak menyetujui bahwa RUU P-KS tidak
sesuai dengan ajaran agama di Indonesia, terutama Islam sebagaimana agama yang
dia anut. RUU P-KS jelas menyatakan sikap penghapusan kekerasan seksual yang
jelas melindungi korban dan menindak pelaku. Beliau tidak begitu memahami
alasan-alasan dari pihak kontra menolak pengesahan RUU P-KS. Dilanjutkan
kembali oleh pembicara kedua pihak kontra memperjelas konteks yang dikatakan
pembicara pertama, bahwa fakta yang ada perlu diperhatikan secara komprehensif
dan penolakan ini sudah dikaji. Dari DPR sendiri RUU P-KS juga mengalami
kontroversi.
Pembahasan
secara konteks baru dimulai dari pembicara kedua pihak pro. Beliau menggunakan
kajian BEM SI yang juga menjadi dasar BEM Untan melakukan penolakan terhadap
RUU P-KS. Dari pihak kontra mulanya tidak menyetujui karena di peraturan awal,
tidak boleh menyebutkan organisasi atau ormawa tertentu. Namun dikarenakan hal
ini disebarkan secara publik, maka pembicara kedua pihak pro diperbolehkan
membahas hal tersebut. Beliau memulai membahas tentang pasal yang multitafsir,
dikatakan bahwa definisi tidak jelas dan
bisa berakses pada tafsir sepihak dan digunakan untuk mengkriminalisasi kritik
moral masyarakat atas perilaku menyimpang. Dalam kata yang
digarisbawahi tersebut oleh pembicara kedua pihak pro, beliau menegaskan bahwa
dalam pengkajian pun BEM SI juga menggunakan kata yang multitafsir. Kemudian
beliau menjelaskan juga bahwa apa yang tidak dimasukkan dalam RUU P-KS sudah
dijelaskan dalam beberapa poin di KUHP dan UU lainnya dan beliau sebutkan satu
per satu, seperti UU Perkawinan yang ia ungkapkan karena banyak yang menolak
RUU P-KS dikarenakan kasus pemerkosaan dalam perkawinan yang dikatakan tidak
masuk akal. Padahal jelas pemerkosaan bermakna pemaksaan dan dalam pernikahan
juga baik suami maupun istri memiliki hak untuk menerima atau menolak
berhubungan.
Pembicara
ketiga pihak konta kemudian kembali menegaskan bahwa RUU P-KS harus dipahami
hingga hal yang filosofis di dalamnya. Baginya, yang mengkhawatirkan di dalam
RUU P-KS adalah kata “kekerasan” yang bermakna multitafsir, padahal ada kata
“kejahatan” yang lebih krusial untuk RUU ini. Terdapat DIM (Draf Indeks
Masalah) yang sudah diajukan dan sebaiknya RUU P-KS ditolak dan pemerintah
seharusnya lebih fokus kepada revisi Undang-Undang yang sudah ada. Hal ini
kemudian ditanggapi pembicara ketika pihak pro yang menyatakan bahwa apa yang
dikatakan ketiga pembicara tidak begitu mendasar substansi ketika membahas
mengenai penolakan RUU P-KS. Pembicara ketiga ini menjelaskan substansi yang
terdapat pada RUU P-KS yang dianggap multitafsir, pro LGBT, pro aborsi, pro
zina, dan terlalu feminis. Baginya, segala peraturan di Indonesia terutama KUHP
sudah melarang tindakan aborsi. Konteks yang disajikan dalam RUU P-KS adalah
memberikan sanksi kepada pelaku pemaksa aborsi, sehingga yang disanksi tidak
hanya pelaku aborsi saja. Beliau juga menyebutkan beberapa Undang-Undang dan
pasal pada KUHP lainnya yang sudah mengatur mengenai perihal yang tidak
dicantumkan di dalam RUU P-KS.
Pasca
sesi kedua, dua orang dari masing-masing pihak dipersilakan untuk memberikan
pendapat mengenai apa yang sudah dibahas sebelumnya. Dari sini, LPM dikritisi
mengenai jalannya diskusi yang dianggap berat sebelah. Namun dari pihak pro
menginginkan pengkajian yang mendalam dari pihak kontra, terutama urgensi yang
dipaparkan dalam kajian BEM SI. Pihak kontra yang tidak berasal dari BEM Untan
menyayangkan hal tersebut dan memiliki pegangan lain, seperti pegangan dari
KAMMI dan ormawa lainnya—meskipun kajian tersebut memiliki konteks yang sama
dengan BEM SI.
Sesi
ketiga kemudian dimulai. Pada saat sesi ini, pembicara tidak dibatasi dari
pihak pro maupun kontra. Beberapa di antara mereka kembali mengulas apa yang
sudah dibahas sebelumnya, terutama substansi yang diterangkan pihak pro pada
sesi sebelumnya. Namun sudut pandang korban dibuka lebih luas dalam sesi ini. Seorang
penyintas menceritakan bahwa kondisi sosial masyarakat saat ini membuat para
korban bungkam dan tidak melapor mengenai kasusnya dan berharap untuk para
penyintas lainnya untuk bersuara agar RUU P-KS disahkan dan korban lainnya bisa
mendapat keadilan. Kemudian seorang lainnya mengungkapkan kondisi korban
pemerkosaan yang ia kenal, yaitu seorang janda dan seorang perempuan yang
memiliki keterbelakangan mental yang pelakunya adalah ayah kandungnya sendiri.
Karena hukum tidak bisa begitu membelanya dan juga kondisi masyarakat yang
masih melakukan victim blaming, janda
tersebut hanya bisa menanggung anak tersebut dalam kondisi perekonomian yang
rendah dan perempuan dengan keterbelakangan mental tersebut terusir dari
desanya.
Dari
pihak kontra kembali masuk ke dalam diskusi di sesi ketiga ini. Mereka lebih
mengarahkan pada perbaikan UU yang sudah ada dikarenakan masih banyak UU
lainnya yang peduli terhadap kasus kekerasan seksual. Baginya, RUU P-KS masih
tumpang tindih. Hal tersebut diintrupsi dengan menanyakan kepada siapa pun di
ruangan tersebut yang paham tentang hukum, apakah benar RUU P-KS ini merupakan
UU khusus dan bukan turunan UU lainnya dan hal tersebut selanjutnya dibenarkan
beberapa orang di dalam ruangan tersebut.
Hingga di penghujung sesi tidak ditemukan titik terang. Justru yang terjadi adalah kericuhan disebabkan pihak pro, terutama yang turut dalam aksi merasa dibohongi dikarenakan hasil dari audiensi di DPRD menyatakan menolak RUU P-KS. Padahal dia sempat menanyakan kepada koordinator lapangan bahwa Untan tidak akan mengajukan penolakan RUU P-KS. Namun sudah jelas 12 orang yang menandatangani atas nama “perwakilan” menyetujui apa yang juga tertulis pada poin empat, yaitu penolakan RUU P-KS. Kericuhan tersebut tidak dapat dibendung, terutama dari pihak penyelenggara—LPM Untan—yang massanya juga tak sebanyak massa di ruang ruangan yang tersulut kemarahan.
Pihak kontra yang sebelumnya hendak menjelaskan pun tak sempat berbicara dikarenakan mimbar bebas tersebut harus segera ditutup dan akan dilanjutkan oleh BEM Untan pada keesokan harinya, 27 September 2019.
Pasca
mimbar bebas yang berakhir dengan kondisi yang tidak kondusif tersebut,
sekretariat BEM Untan dan dinding di sekitar bundaran Untan menjadi sasaran
vandalisme dari beberapa orang yang kontra atas penolakan RUU P-KS. Namun hal
yang perlu digarisbawahi, tidak semua yang terkait dalam barisan orang-orang
yang menolak hasil audiensi tersebut turut menjadi pelaku vandalisme tersebut
karena mereka tidak membenarkan hal tersebut karena urgensi utamanya adalah
pengesahan RUU P-KS agar korban kekerasan seksual segera mendapatkan keadilan.
Babak 2
Lantai 4 Gedung MKWU A
13.00 WIB, 27 September 2019
Untuk
menyikapi hasil yang menggantung dan vandalisme terhadap BEM Untan, BEM Untan
kemudian mengadakan Dialog Klarifikasi. Sebenarnya hal ini dikritisi karena
untuk klarifikasi sebenarnya bisa dengan cara press releases dan hal yang seharusnya dilakukan adalah dialog
untuk lebih menegaskan apa yang menjadi urgensi masing-masing pihak.
Ketua BEM Universitas Tanjungpura, Kaharudin, kemudian mengklarifikasi mengenai urgensi mengenai RUU P-KS. BEM Untan telah mengadakan Dialog Interaktif di Aula Fakultas Hukum yang membahas RUU P-KS pada tanggal 23 Agustus 2019. Pada saat itu, BEM Untan belum menginisiasi untuk mengadakan aksi. Dalam dialog terbuka tersebut, BEM Untan mengundang mahasiswa Untan lewat poster pada media sosial BEM Untan. Pada tanggal 19 September 2019, BEM Untan mengadakan konsolidasi berkaitan dengan penolakan RUU P-KS dan pada keesokan harinya—20 September 2019—diadakan aksi dari hasil konsolidasi tersebut. BEM Untan menolak pasal-pasal yang dianggap rancu di RUU P-KS. Hal tersebut dilakukan BEM Untan karena RUU P-KS akan segera disahkan di periode ini sebelum nantinya akan berganti periode baru pada tanggal 1 Oktober 2019.
Pada
tanggal 24 September 2019 diadakan aksi yang menyatakan penolakan RUU P-KS, R
KUHP, RUU Ketanahan, dan UU KPK. Namun dikarenakan banyak yang tidak menyetujui
soal penolakan RUU P-KS dan BEM Untan hanya menolak beberapa pasal saja, maka
BEM Untan hanya membawa penolakan R KUHP, RUU Ketanahan, dan UU KPK saat
audiensi di DPRD. Hal yang menyebabkan adanya penolakan RUU P-KS seperti yang
tertulis di Nota Kesepakatan karena masing-masing perwakilan yang audiensi
menyebutkan urgensi aksi mereka masing-masing dan satu diantaranya adalah RUU P-KS.
Hal tersebut didasari dengan alasan bahwa setiap lembaga yang menolak pasti
mempunyai dasar landasan untuk menolak RUU P-KS.
Sesi
tanya jawab kemudian dibuka setelah klarifikasi dari Ketua BEM Universitas
Tanjungpura. Penanya pertama menanyakan mengapa pada saat aksi suara Untan
terpecah dan apakah pada saat konsolidasi sudah mengundang semua organisasi di
Untan. Berkaitan dengan pertanyaan tersebut, pembicara yang terdiri dari Ketua
BEM dan Perempuan Untan kemudian menjelaskan bahwa terjadi kendala karena
perbedaan pandangan setiap mahasiswa Untan. Dalam audiensi pada saat aksi
tersebut sudah dikumpulkan setiap perwakilannya agar tidak pecah suara. Faktor
lainnya juga pada kurangnya efektivitas koordinator lapangan dalam pengaturan
aksi. Mengenai konsolidasi, BEM Untan memang kurang dalam mengkoordinasikan
lembaga dan hanya disampaikan lewat BEM di masing-masing fakultas pada
aksi-aksi sebelumnya. Namun konsolidasi untuk aksi pada tanggal 24 September
2019 hanya dalam lingkup internal BEM saja. Hal tersebut dilakukan karena
beberapa urgensi yang disampaikan—RUU P-KS, R KUHP, RUU Ketanahan, dan UU
KPK—sudah disampaikan pada aksi sebelumnya dan konsolidasi sebelum aksi-aksi
tersebut dirangkum dan dijadikan bahan kajian untuk aksi pada tanggal 24
September 2019.
Sesi
tanya jawab dilanjutkan dengan penanya kedua. Pertanyaannya, “Dalam Nota
Kesepakatan tidak semua mendukung poin keempat—menolak RUU P-KS—dan dalam hal
ini, apakah BEM sudah menjadi wakil dari suara mahasiswa Universitas
Tanjungpura atau tidak?” Pembicara kemudian menjawab dengan menyatakan bahwa
sudah ada diskusi terbuka mengenai RUU P-KS pada tanggal 23 Agustus 2019, namun
yang datang hanya sedikit dan BEM Untan mengharapkan adanya dialog interaktif. Dalam
hal ini, BEM Untan sendiri sudah mengkaji mengenai RUU P-KS dan masih resah
dengan pasal-pasal yang bermasalah. Kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan
selanjutnya, “Apa dasar BEM menolak RUU P-KS?” Pihak Perempuan Untan kemudian
menyatakan bahwa sudah ada diskusi bersama beberapa narasumber dan masih banyak
sekali pasal-pasal bermasalah pada RUU P-KS tidak hanya pada pasal 12, pasal
15, pasal 18, dan pasal 19. Beliau mengambil contoh pada pasal 1 ayat 1 masih
pelik karena liberal dalam naskah akademik. Beberapa pasal lainnya juga
dianggap liberal dan mengandung nilai-nilai feminisme.
Kondisi
saat itu mulai tidak kondusif dan cukup membuat marah beberapa pihak, terutama
yang tidak menyetujui penolakan BEM Untan atas pengesahan RUU P-KS. Kemudian
satu diantara peserta melemparkan pertanyaan, “Apakah BEM Untan tidak percaya
dengan mahasiswa Untan untuk mengkaji bersama-sama dan membandingkannya dengan
BEM SI.” Dari pihak BEM Untan menjadikan hal tersebut untuk pembelajaran pada
aksi-aksi selanjutnya.
Setelahnya
beberapa mahasiswa di ruangan tersebut hendak membacakan petisi untuk BEM
Universitas Tanjungpura. Isi petisinya sebagai berikut.
BEM Universitas Tanjungpura adalah representasi
mahasiswa Universitas Tanjungpura untuk menyerukan semangat demokrasi dan
menjadi jembatan dialog mahasiswa khususnya di Universitas Tanjungpura. BEM
Untan tidak lagi milik mahasiswa Untan. BEM Untan mengeluarkan penolakan
terhadap RUU P-KS berdasarkan asumsi dan bersifat demi kepentingan kelompok.
Penolakan terjadi dari kalangan mahasiswa Untan serta mahasiswa dan BEM
berbagai kampus di Kalimantan Barat. Petisi ini sebagai wujud kepedulian kita
untuk mendorong dialog terbuka dan mencapai konsensus bersama.
Untuk itu kami mempetisi BEM Untan untuk:
1.
Melakukan
klarifikasi di media massa terkait sikap penolakan RUU P-KS yang
mengatasnamakan mahasiswa Untan tanpa proses konsolidasi yang benar dan jelas.
2.
Mencabut Nota
Kesepakatan mengenai penolakan RUU P-KS dengan DPRD Kalimantan Barat yang
dibuat sepihak.
3.
Meminta maaf di
depan Keluarga Besar Mahasiswa Universitas Tanjungpura atas kelalaiannya
menyatakan sikap dengan tidak memperhatikan suara seluruh Keluarga Besar
Mahasiswa Universitas Tanjungpura.
4.
Apabila tuntutan
ini tidak dilakukan, maka selayaknya BEM Untan turun jabatan, dan DPM Untan
segera membuat Pemirama untuk memilih pengganti dari BEM Untan.
Tanda tangan petisi ini sebagai bentuk penolakan
demokratis terhadap BEM Universitas Tanjungpura.
Kondisi
semakin tidak kondusif setelah pembacaan petisi tersebut dan beberapa mahasiswa
yang mengajukan petisi keluar dari ruangan. Sekelompok mahasiswa yang tersulut
pitamnya mendesak BEM Untan, terutama Ketua BEM untuk melakukan perihal yang
sudah tertera pada petisi tersebut. Hasil final dari dialog klarifikasi
tersebut adalah Ketua BEM, Kaharudin, menandatangani kesepakatan untuk mencabut
pernyataan penolakan RUU P-KS.
Nota Kesepakatan yang ditandatangani beberapa perwakilan dalam aksi. |
Beberapa berita mengenai update perihal aksi di Pontianak dan permasalahan yang terjadi pasca aksi tersebut dapat diakses di sini.[]
Comments
Post a Comment