Refleksi Pertemuan dan Bara
Bersama anak-anak Panti Asuhan Amal Jariah |
Cerita ini hanya didokumentasikan lewat foto kami bersama anak-anak Panti Asuhan Amal Jariah. Sangat disayangkan aku bukan satu diantara mereka yang senang mendokumentasikan setiap kegiatan mereka. Aku cukup memperhatikan beberapa hal yang ada di sekitar panti asuhan tersebut. Mulai dari perjalanan menuju ke sana, lingkungan di sekitar tempat tersebut, hingga air muka anak-anak melihat kedatangan kami.
Tanah
kuning menemani perjalanan kami menuju kesana. Kala musim panas saat itu,
perjalanan kami diselimuti debu yang memerihkan mata sekaligus panas matahari
yang membakar kulit. Aku tak terbayang ketika saat itu musim hujan, mungkin aku
tak berani mengendarai motor karena becek dan khawatir kecelakaan.
Panti
asuhan yang terletak jauh dari wilayah penduduk itu berada di antara lahan hutan
yang sebagian baru saja dibakar di sekitarnya. Bahkan aku menemukan beberapa
batang pohon yang masih ada sedikit baranya meskipun sudah menjadi arang. Aku
dan kawan-kawan ke sana sekitar bulan April 2019. April sendiri bukanlah bulan
yang mainstream untuk membakar hutan.
Musim kebakaran hutan umumnya di pertengahan tahun, tepatnya di awal semester
kurikulum pendidikan di Indonesia. Di sekitar batang-batang tersebut, terdapat
pohon-pohon yang baru saja bertumbuh tampak kecoklatan karena habis dijilat
api.
Seperti
pohon yang terlalu dini dijilat api, seumur hidupku kuhabiskan untuk bertumbuh
di Kalimantan Barat. Tapi nasibku lebih beruntung dari pohon tersebut. Namun
aku dan masyarakat di sekitarku mulai terganggu dengan kabut asap dari
kebakaran hutan musiman mulai dari tahun 2015. Beberapa masyarakat dari daerah
lain mengatakan kebakaran hutan sendiri bukanlah hal yang baru. Aku dapat
mengiyakannya. Namun selama itu, tidak pernah sebesar ini dan tidak pernah
seberbahaya ini.
Rumah
dan kamar kos cukup melindungiku dari bahaya kabut asap. Ketika beraktivitas di
luar, aku cukup menggunakan masker. Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) yang
menerangkan udara akibat kabut asap saat itu cukup berbahaya mungkin hanya
berdampak perlahan dalam tubuhku. Ketika berada di Panti Asuhan Amal Jariah,
jendela mereka hanya lubang tanpa kaca ataupun ventilasi dengan ukuran yang
cukup besar, sekitar satu kali satu meter. Aku dan kawan-kawan cukup merasakan
hawa panas di dalam ruangan karena matahari yang terik dan masih ada asap di
luar sana. Beberapa kali aku berkata pada kawanku, “Terbayang tidak ketika
sedang musim kebakaran, kondisi mereka tidur seperti apa?”
Panti
asuhan yang kami datangi adalah panti khusus laki-laki. Panti yang sama menempatkan
anak asuh khusus perempuannya di wilayah Jeruju, sangat jauh dari tempat yang
kami kunjungi, yaitu di wilayah Rasau Jaya. Mereka bercerita banyak, satu
diantaranya cerita bahwa mereka pergi ke sekolah bersama-sama dengan berjalan
kaki. Sekolah mereka berada di wilayah penduduk yang jaraknya sekitar satu
hingga dua kilometer dari panti. Ada yang menceritakan bahwa dirinya dahulu
terjebak dalam pergaulan yang memperkenalkannya pada narkoba. Ada pula yang
menceritakan mimpinya untuk masuk perguruan tinggi lewat beasiswa.
Mereka
tidur dan beribadah di ruangan yang berjendela tanpa kaca dan ruangan atas yang
masih kayu. Satu diantara mereka tentu ada yang menderita penyakit asma dan
penyakit pernapasan lainnya yang sewaktu-waktu kambuh dikarenakan udara yang
tidak sehat. Kami cukup menerima dampak dari udara di sekitar panti tersebut,
upil kami yang berubah menjadi kehitaman, misalnya. Dampak yang sama ketika
menumpangi bus jadul karena menghirup asap kehitaman sepanjang perjalanan. Risiko
yang mereka rasakan jauh lebih besar dibanding masyarakat yang tinggal di pusat
kota, karena mereka tinggal di sekitar hutan yang umumnya di bakar. Betapa
sulitnya kesehatan mereka dapatkan ketika terjadi kebakaran di hutan tersebut.
Cerita di panti asuhan lainnya. Menghadiahkan Majalah Bobo supaya mereka senang membaca. |
Dalam
kacamataku, ada dua isu yang lekat dalam kehidupan anak-anak Panti Asuhan Amal
Jariah ini dan cukup relevan dengan apa yang terjadi di Kalimantan Barat, yakni
pendidikan dan lingkungan. Panti asuhan ini adalah satu diantara ribuan tempat
yang menampung anak-anak, termasuk diantaranya wilayah penduduk. Kebutuhan
mereka akan pendidikan bukan hanya terhambat infrastruktur saja, namun meluas
hingga kebutuhan akan ilmu. Sekolah yang seharusnya memberikan informasi kepada
mereka bagaimana cara mendapatkan beasiswa dan prosedur masuk perguruan tinggi seolah
lebih memprioritaskan nilai Ujian Nasional para siswanya. Ketika siswa di
perkotaan tetap paham cara menjalankan komputer meskipun tanpa belajar
Teknologi Informasi dan Komunikasi secara formal di sekolah, siswa di daerah
yang sulit menjangkau jaringan internet semakin buta dan baru belajar ketika
bertemu dunia baru di perguruan tinggi.
Kesenjangan
tidak hanya terjadi dalam sistem sosial kita, namun juga di pendidikan kita. Berkaca
dari sejarah, hal ini disebabkan setiap daerah di Indonesia memiliki privilege-nya masing-masing. Pulau Jawa,
Sumatera, dan sebagian Sulawesi dikenal begitu maju pendidikannya karena
menjadi pusat perhatian pemerintahan jauh dari masa kependudukan Belanda
sehingga anak-anak bangsawan dan priyayi pribumi dapat menikmati pendidikan
seperti orang Indo (campuran) dan orang Belanda. Berbeda dengan Kalimantan dan
Papua, pergerakan pendidikan lambat karena hanya beberapa daerah saja yang terjamah
seperti kota-kota yang saat ini menjadi ibukota provinsi di pulau besar
tersebut. Faktor lainnya juga disebabkan kekuatan suku bangsa di Kalimantan dan
Papua yang tak mampu dikalahkan para kolonial saat itu.
Perubahan
kurikulum seperti penghapusan mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi
pun satu diantara penyebab sukarnya pendidikan melahirkan generasi yang cakap. Karena
untuk menggunakan teknologi, tidak semua siswa mampu mempelajarinya secara
otodidak.
Lain
halnya dalam isu lingkungan. Kalimantan, terutama Kalimantan Barat merupakan
penghasil bauksit yang cukup besar. Beberapa wilayahnya pun masih banyak lahan
kosong dan cocok untuk ditanami sawit. Terlalu sukar membuka lahan yang luas
dengan menebang. Metode termudah untuk membuka lahan adalah dengan membakarnya.
Sebenarnya, metode ini juga dilakukan masyarakat Dayak sejak lama. Namun,
metode tradisional yang dilakukan justru memberikan sedikit dampak karena lahan
yang dibuka tidak begitu besar, karena hasilnya juga digunakan untuk kepentingan
pribadi atau kelompok masyarakat tradisional. Untuk keperluan perusahaan
tambang bauksit dan perkebunan sawit, tentu memerlukan lahan yang lebih besar,
karena hasil dan keuntungannya akan dibagi kepada para investor. Maka tak heran
apabila kebakaran hutan yang terjadi dalam misi membuka lahan berdampak hingga
satu provinsi. Masyarakat di bumi Borneo pun kewalahan dengan tanahnya sendiri.
Ketika hidup bertahun-tahun pepohonan di dalam hutan Borneo menjadi paru-paru
masyarakatnya, beberapa waktu dalam satu tahun justru meracuni masyarakatnya
atas kepentingan borjuis berperut buncit.
Belajar dan bermain bersama anak-anak Desa Raut Muara, Kabupaten Sanggau dalam kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat |
Sebagai pemuda, tentunya memperjuangkan hak atas pendidikan dan lingkungan yang sehat tidak hanya lewat jalur diplomasi saja. Langkah kecil yang dapat mengubah adalah berbagi dengan mereka yang membutuhkan. Sesederhana membagikan masker kepada masyarakat, mengunjungi panti asuhan dan sekolah dengan insfrastruktur yang kurang, hingga mengabdi kepada masyarakat. Karena untuk mengubah Indonesia menjadi lebih baik bukan hanya tugas pemerintah ataupun pemimpin negara. Semua itu adalah tugas kita sebagai manusia. Hal tersebut bukan hanya bentuk memanusiakan orang lain, namun juga menjadi jalan memanusiakan diri sendiri.
Comments
Post a Comment