Kembali Membangun Kubah
Pembuka
dari Kubah sejenak mengingatkan saya
pada Bukan Pasarmalam-nya Pramoedya
Ananta Toer. Betapa Karman dan tokoh utama dalam roman Pram tersebut merasakan
kedalaman rasa melankolis yang persis. Babak belur Karman dihabisi oleh segala
pencarian dan segala keputusan. Sepanjang bab kita turut menyelami bagaimana
Karman berkontemplasi mengenai segala sesuatu yang telah terjadi pada dirinya hingga
keputusan-keputusannya yang menyebabkannya berada di pengasingan di Pulau Buru.
Membaca
Kubah membuat saya sejenak kilas
balik mengenai novel yang sebelumnya saya baca, yakni Jalan Bandungan karya Nh. Dini. Keduanya mengungkapkan hal yang
sama, seorang suami yang terjebak dalam sebuah partai komunis. Tentu saja, Kubah menceritakan perihal yang berbeda.
Kubah tidak menyorot kehidupan tokoh
perempuan dalam alurnya, namun lebih menyorot pada Karman. Kita diajak
menyelami kehidupan Karman. Karman kecil yang periang dan pandai berkawan.
Karman remaja yang cerdas dan cekatan. Karman yang terus mencari-cari sesuatu
dalam hidupnya. Karman yang terus bertanya-tanya apa yang terjadi pada diri dan
hidupnya. Karman yang terus memikirkan apa yang akan terjadi pada dirinya
selanjutnya.
Novel
ini menyajikan nilai religius yang cukup tinggi, terutama mengenai pilihan tidak
lagi mempercayai Tuhan dan agama yang dilakukan oleh Karman setelah memutuskan
untuk menjadi komunis serta bagaimana kehidupan Karman ketika ia dulu begitu
taat menjalankan ritus agamanya. Mengenai keimanan Karman, hal ini berkaitan
erat dengan hubungannya dan Haji Bakir. Kerenggangan hubungan Karman dan Haji
Bakir menjadi kesempatan orang-orang komunis untuk mengajak Karman menjadi
bagian dari mereka. Karman yang berpendidikan dan cerdas.
Tampak
begitu jelas kontradiksi mengenai partai komunis yang anggotanya dikenal tidak
beragama pada novel ini. Pergerakan partai komunis sebelum dan sesudah Oktober
1965 diungkapkan dengan cukup jelas pada novel Kubah bersandingan dengan nilai-nilai religius tersebut. Meskipun kontradiksi,
mengenai pembantaian terhadap anggota komunis diterakan dengan wajar pada novel
ini. Seperti yang dikatakan Gusdur pada cover
Kubah, terdapat gagasan besar
rekonsiliasi pasca tragedi 1965 pada novel tersebut dan novel Kubah-lah yang menggagas lebih awal. Mulanya,
saya sempat berpikir bahwa gagasan rekonsiliasi ini baru diungkap pasca
reformasi, ternyata tidak juga.
Membaca
Kubah sebenarnya bukanlah kemauan
saya secara pribadi. Membaca Kubah
memang dilatarbelakangi dengan tuntutan tugas analisis novel dengan pendekatan
sosiologi sastra. Namun saya jatuh cinta saat membaca karya Ahmad Tohari untuk
kali pertama. Sedikit banyak saya mendapati nilai-nilai sosial yang terjadi di
dalam Kubah dan masyarakat Pegaten
yang begitu lugu dan bersahabat. Sebagian besar pendapat rekan-rekan saya bahwa
Karman ditipu. Saya tidak begitu setuju dengan pendapat tersebut. Karman sedang
mencari sesuatu di waktu yang tidak tepat. Ia mencari jati dirinya di tengah
suasana hati yang penuh dendam, tak ayal ia jatuh ke dalam belenggu idealisme sebuah
partai dengan orang-orang yang berpikiran bertolak belakang dengan dirinya yang
sebelumnya.
Kubah dikemas dengan diksi yang cukup membuat pembaca
hanyut dalam cerita. Seringkali perasaan tokoh begitu disorot, seperti ketika
Karman merasa begitu bimbang dengan kekosongan hatinya dan ketika Marni begitu
bimbang akan bertemu kembali dengan mantan suaminya. Hingga pada penghujung
cerita, saya menyadari sesuatu.
Karman
adalah kita.
Ada
kalanya Karman merasakan kekosongan pada dirinya setelah membuat keputusan,
terutama ketika dirinya memutuskan untuk tak memeluk agama lagi. Karena baginya,
agama adalah candu yang meninabobokan siapa pun yang percaya dengannya agar tak
menuntut haknya. Namun ketika Karman merasakan kekosongan tersebut, ia bertemu
dengan orang-orang yang begitu optimis dan selalu ikhlas dalam menghadapi
hidup. Karman iri karena tak mendapatkan ketenangan yang sama setelah ia
meninggalkan agama dan konsisten dalam partai. Pasca tragedi 1965, ia justru
dikejar kecemasan karena rekan-rekannya telah dihabisi dan darah mereka
mengalir bersama aliran sungai Sikura. Ia terus memikirkan nasibnya yang kelak
akan sama dengan rekan-rekannya.
Sejatinya,
apa yang Karman rasakan membuat saya sejenak merenung. Kita terlalu sibuk
mencari hingga lupa kembali. Kita sibuk menghakimi hingga lupa merenungi. Dalam
beberapa masa, Karman adalah kita. Kita yang lupa ke mana arah pulang.[]
Review Kubah Ahmad Tohari, Resensi Kubah
Comments
Post a Comment