Menelisik Kekeluargaan di Jalan Bandungan



Setiap orang memiliki harapan yang besar dalam kehidupan rumah tangganya. Namun, kehidupan rumah tangga yang dijalani Muryati dan Widodo tidak seperti apa yang dibayangkan orang-orang di sekitarnya, juga tidak seperti kehidupan kedua orang tuanya. Muryati dibesarkan oleh orang tua yang begitu mengedepankan kebahagiaan anggota keluarganya dengan melakukan berbagai hal, seperti menonton film bersama hingga mengunjungi tempat liburan setiap akhir pekan. Setelah menikah dengan Widodo—anak buah ayahnya pada masa revolusi—Muryati merasakan banyak hal yang salah pada kehidupan rumah tangganya.

Kisah ini dimulai dengan penggambaran kondisi di akhir novel—masa ketika Muryati sudah menikah dengan adik Widodo, Handoko—sebelum melakukan kilas balik yang menceritakan kronologi mulai dari masa kecil Muryati hingga kompleksnya kehidupannya ketika dewasa dan berumah tangga. Seluruh cerita dalam novel ini berdasarkan sudut pandang Muryati. Akan berbeda atmosfer sudut pandang Muryati ketika masih duduk di bangku Sekolah Rakyat dan ketika ia telah berumah tangga. Tentang kehidupan masa revolusi, pergaulan dan persahabatan di sekolah, hingga rasa penasaran para remaja mengenai pergaulan lawan jenis diungkapkan di masa-masa muda Muryati. Hal kompleks mulai muncul ketika ia dekat dengan Widodo yang cukup dingin untuk dirinya yang terbiasa hidup dalam keluarga yang bahagia hingga Muryati menjadi seorang yang begitu pasif setelah menikah dengan Widodo.

Sukar bagi Muryati untuk keluar dari kungkungan status istri yang hanya diberi jatah untuk melakukan pekerjaan di kasur, sumur, dan dapur dengan jatah nafkah yang kecil pula. Tiada kebahagiaan yang ia dapatkan dari Widodo selain rasa sakit karena percintaan mereka hanya untuk kepuasan batin Widodo saja. Sempat Muryati berpikir untuk kembali mengajar seperti ketika ia belum menikah untuk menambah uang saku dalam keluarganya, namun dilarang sang suami. Untuk berbicara pun, Muryati selalu diabaikan. Hingga pada suatu hari, sang suami hilang dan ditemukan telah dipenjara dikarenakan menjadi anggota Partai Komunis.

Sesekali saya sempat berpikir bahwa terlalu dini untuk saya memahami pengalaman berumah tangga lewat “Jalan Bandungan”. Novel ini cukup lama saya baca karena sering mengulur waktu, dari akhir Agustus hingga akhir Oktober, nyaris dua bulan. Dalam waktu yang panjang tersebut, saya justru menemukan berbagai relasi antara kisah di novel ini dengan apa yang saya temukan di dunia nyata. Bahwa hubungan percintaan antar laki-laki dan perempuan begitu kompleks dan betapa patriarki yang sudah tertanam di dalam masyarakat tak jarang merugikan perempuan, seperti pada kasus pasca Widodo ditahan. Betapa Muryati begitu sukar mendaftarkan diri sebagai pengajar dan berjuang membesarkan anak di bawah stigma “istri seorang komunis”. Betapa status “istri seorang komunis” dan dituduh “gerwani” juga sempat mempersulit jalannya untuk melanjutkan pendidikan di negeri seberang. Padahal, sekali pun ia tak pernah terlibat alih-alih berkesempatan mendengar cerita dari sang suami yang tertutup dan sering abai terhadapnya, terutama mengenai cuti dari kantor hingga menjadi anggota partai terlarang pada masa itu.

Kisah ini juga menggambarkan kesetiaan lima sekawan—Muryati, Murniyah, Ganik, Sri, dan Siswi—dari masa sekolah hingga dewasa dan berumah tangga. Kehidupan Muryati pasca menjadi istri seorang tahanan politik membuatnya kembali dekat dengan keluarganya dan para sahabatnya. Bahkan ia juga sowan ke rumah mertuanya yang tak pernah ia temui selama menikah dengan Widodo. Dalam perjalanan hidup Muryati di novel ini, hubungannya dengan para sahabatnya begitu dekat seperti keluarga sendiri. Ketika Muryati menghadapi persoalan serius dalam hidupnya, para sahabat dan orang tua sahabatnya bahu membahu membantunya dalam menyelesaikan masalah.

Satu diantara alasan mengapa judul novel ini adalah "Jalan Bandungan" karena permasalahan terbesar dalam novel ini terjadi ketika Muryati telah tinggal di Jalan Bandungan, tepatnya di rumah yang menjadi peninggalan Ganik dan orang tuanya, Dokter Liantoro dan istri. Permasalahan yang cukup krusial itu disebabkan oleh mantan suami Muryati, Widodo.

Mulanya sebelum membaca “Jalan Bandungan” dan karya Nh. Dini lainnya yang bertajuk “Keberangkatan”, saya tidak memiliki gambaran mengenai kehidupan generasi masa 20 hingga 30 tahun pasca kemerdekaan. Meski akhirnya saya mengetahui betapa majunya pikiran orang-orang yang menjadi tokoh di novel-novelnya, saya juga menyadari bahwa yang tengah diceritakan adalah orang-orang urban di Jawa pada masa tersebut. Sedikit banyak saya mempelajari bahwa perempuan pada masa itu semakin progresif pikirannya mengenai hak-hak perempuan—bahwa perempuan tidak hanya sekadar bekerja di sumur, dapur, dan kasur. Sesekali Muryati juga mengeluhkan betapa tidak berdayanya perempuan dalam memberikan keputusan.

Kisah Muryati ini dekat sekali dengan apa yang terjadi di sekitar kita. Saya sendiri paham betul dalam dua bulan belakangan ini ketika terlibat langsung dalam permasalahan yang sama kompleksnya dengan apa yang Muryati alami. Ketika di novel sebelumnya saya menemukan perasaan emosional seorang perempuan yang ditinggal menikah oleh kekasihnya, novel “Jalan Bandungan” ini lebih menunjukkan perjuangan lahir dan batin seorang perempuan membesarkan anaknya seorang diri, bersama dukungan keluarga dan sahabat-sahabatnya yang sudah seperti keluarga sendiri. Pada kisah ini juga terdapat hubungan rumit percintaan orang dewasa yang mau tidak mau terlibat ketika ada permasalahan dalam keluarga.

Pernah saya tertarik pada sebuah pesan dari dosen saya, bahwa membaca sastra menciptakan empati pada pembacanya. Selain merasakan apa yang dirasakan Muryati pada novel ini, sedikit banyak saya juga belajar dari pemikiran kritis seorang Muryati dalam menghadapi permasalahan yang menimpanya.[]

Resensi Jalan Bandungan NH Dini, Review Jalan Bandungan

Comments

Popular posts from this blog

Contoh Balasan Surat Pribadi

Sahabat Pena

Apa yang Kita Tinggalkan di Ruang Publik Dunia Maya?